Tuesday, January 9, 2007

KEPUTUSAN TEPAT MENITI KARIER DI AQUA

Keputusannya untuk bergabung pada perusahaan baru ketimbang yang sudah mapan rupanya tepat. Karirnya melesat dengan cepat dan posisi presdir diraihnya dalam waktu sekitar 13 tahun. Apa saja yang dialami Willy pada masa itu?


Setelah sepakat untuk bergabung di AQUA, Willy segera mengajukan pengunduran diri dari Nissin. Atasan Willy yang orang Jepang, sangat terkejut, karena Willy meskipun baru masuk kurang dari sebulan, sudah menunjukkan semangat yang tinggi dan ia bermaksud untuk memberikan posisi yang lebih baik.

Namun, keputusan Willy sudah mantap. Ia tetap mengundurkan diri dan segera bergabung dengan AQUA yang waktu itu masih dalam bentuk akte notaris saja.

Segera Slamet Utomo membeberkan rencana untuk mendirikan pabrik air mineral. Nama perusahaan sudah ditetapkan dalam akte notaris yaitu PT Golden Mississippi.

Pemilihan nama yang sangat berbau Amerika tersebut untuk memberikan citra sebagai perusahaan Amerika. Apalagi sasaran pasar yang dituju kalangan ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Perlu diketahui, pada waktu itu kepercayaan terhadap produk Indonesia amatlah rendah sehingga diperlukan citra asing bila hendak menjangkau konsumen asing. Mulanya Tirto Utomo sempat ragu, apakah perusahaan akan diberi nama PT Golden Mississippi atau PT Golden Colorado. Pilihan akhirnya menggunakan nama PT Golden Mississippi. Selain lebih mudah diucapkan juga dirasakan lebih keren.

Menurut perhitungan Tirto Utomo, apabila 10 % saja orang asing yang ada minum air mineral, maka dengan mudah akan mencapai tingkat konsumsi sebesar sekitar 5 juta liter per tahun.

Karena tidak mempunyai pengalaman sama sekali dibidang industri air mineral, maka Tirto Utomo menghubungi Polaris di Thailand yang pada tahun 1973 sudah berumur 16 tahun. Kontak dilakukan dan segera Tirto Utomo menyuruh Slamet Utomo untuk belajar ke Thailand. Pihak Polaris menerimanya dengan tangan terbuka.

Tidak mengherankan bila pada awalnya, AQUA merupakan duplikat dari Polaris. Dari desain pertama, yaitu botol kaca 500 ml, mesin pengolahan air dan mesin pembotolan (pencuci botol dan pengisi botol) semua persis sama seperti yang dimiliki Polaris.

Willy mulai bergabung dengan AQUA 19 Juni 1973 dan ditugaskan sebagai project officer untuk pembangunan pabrik pertama AQUA. Gaji yang diterimanya sebesar Rp 25.000 per bulan.

Sebagai langkah pertama, Willy bersama Slamet Utomo mencari lokasi tanah untuk pabrik. Saat itu, entah kenapa pilihan jatuh ke Bekasi. Sebidang tanah datar dan kering di Desa Pondok Ungu yang terletak di KM 27 jalan raya antara Jakarta – Bekasi menjadi pilihan. Wilayah tersebut pada waktu itu masih terdiri dari sawah yang menghampar luas di sekitar saluran irigasi Jatiluhur.

Ketika Willy sedang kebingungan duduk di atas tumpukan bambu di depan tanah tersebut datanglah Ketua RW setempat yang bernama M. Semu. Ia menyapa Willy dan menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui Willy hendak menemui pemilik tanah tersebut maka ditunjukkan kepadanya rumah Tek Kong, pedagang beras di Kota Bekasi yang menjadi pemilik tanah tersebut.

Kelak ketika pabrik sudah berdiri, M. Semu direkrut Willy menjadi karyawan pertama di pabrik Bekasi itu sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) sekaligus menjadi jembatan untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Transaksi segera dilakukan dan tanah segera menjadi milik PT Golden Mississippi. Masalah yang timbul kemudian adalah pengurusan ijin yang berkepanjangan. Namun akhirnya semua dapat dibereskan. Pembangunan pabrik segera dimulai dan sempat terhambat karena kelangkaan semen, sehingga pembangunan baru selesai selama setahun.

Mesin-mesin pun mulai diimpor tanpa perlu pikir panjang lagi dengan hanya menduplikasi mesin-mesin yang dimiliki Polaris. Karena konsepnya meniru Polaris yang menggunakan air tanah dalam dari sumur bor (artesian well water) maka dimulai pula pengeboran sebuah sumur yang mencapai kedalaman 120 meter dari permukaan tanah.

Mengingat sumber air berasal dari sumur bor maka pada logo AQUA yang pertama tertera keterangan produk sebagai “Pure Artesian Water”

Pada saat bersamaan, Tirto Utomo mulai memikirkan logo untuk merek air mineral miliknya. Tirto kemudian menunjuk seorang desainer asal Indonesia yang bermukim di Singapura bernama Eulindra Lim.

Semula konsep merek hendak digunakan adalah “PURITAS”. Nama itu berasal dari kata “purity” yang bermakna kemurnian.

Ketika konsep tersebut disampaikan kepada Eulindra Lim tanpa diduga muncul usulan lain yang sangat brilian. Eulindra mengatakan:”Mengapa tidak memakai merek AQUA saja?”

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan tersebut. Pertama, AQUA mempunyai asosiasi yang tinggi terhadap produk yang akan menyandang merek tersebut yaitu air murni. Kedua, AQUA sangat mudah diucapkan dan mudah diingat.

Tirto segera saja setuju dan muncullah desain logo AQUA yang menjadi sangat populer hingga sekarang, meski beberapa kali dilakukan perubahan atau berevolusi hingga menjadi seperti yang sekarang. Namun satu yang tidak berubah, yaitu jenis huruf atau font AQUA yang bertahan sampai sekarang dan merupakan identitas yang tidak tergoyahkan.

Botol kemasan pun segera dipesan ke pabrik pembuat botol dari beling. Pemesanan tersebut membutuhkan jeda waktu cukup lama karena memerlukan cetakan (mould) yang harus dipesan dari luar negeri. Oleh karena AQUA tidak memiliki gambar botol yang berukuran persis aslinya maka dibuatlah replika botol dari kayu agar pabrik botol dapat memiliki bayangan mengenai bentuk botol yang diinginkan.

Ketika pabrik selesai dibangun dan mesin-mesin mulai berdatangan, Willy Sidharta sempat kebingungan ketika Slamet Utomo mengatakan bahwa pihak AQUA tidak bisa mendatangkan teknisi khusus dari mesin-mesin tersebut karena keterbatasan dana. Namun, hal itu dianggap tantangan tersendiri baginya.” Bagi saya tidak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup saya,” ujar Willy dengan nada serius.

Maka ketika Slamet Utomo bertanya kepada Willy Sidharta : ”Apakah kamu bisa memasang sendiri?” Serta merta Willy menyanggupkan diri asalkan tersedia buku petunjuk yang jelas. Beruntung semua mesin yang dibeli pada waktu itu berasal dari perusahaan terkemuka Amerika Serikat dan Eropa, sehingga semua dilengkapi gambar, spesifikasi dan petunjuk lengkap dalam bahasa Inggris.

Segera Willy merekrut beberapa orang untuk membantunya dan mulai mempelajari mesin yang akan dipasang. Mesin segera diletakkan pada tempat sesuai dengan tata letak yang ditentukan dalam gambar. Instalasi pipa dan listrik pun segera di pasang.

Meskipun membutuhkan waktu agak lama karena belum memiliki pengalaman akhirnya satu per satu mesin dapat beroperasi, dimulai dari mesin pengolahan air.

Karena mesin pencucian botol datang pada gelombang terakhir maka diputuskan untuk memproduksi air minum dengan cara manual. Artinya, pencucian botol dan pengisiannya dilakukan secara manual dulu untuk mengejar waktu supaya bisa segera launching produk baru air mineral.

Willy ditugaskan untuk menangani produksi sekaligus sebagai kepala pabrik yang pertama di pabrik AQUA pertama di Bekasi.

Setelah dilakukan beberapa kali produksi percobaan dan dianggap tidak ada masalah lagi maka pada bulan Oktober 1974 produksi komersial dimulai dan produk AQUA resmi diluncurkan ke pasar.

Peluncuran diutamakan ke komunitas asing atau ekspatriat, melalui toko toko pengecer yang banyak melayani orang asing. Pada waktu itu terdapat banyak komunitas Jepang yang tinggal di Jakarta dan beberapa toko khusus melayani pelanggan masyarakat Jepang. Di toko-toko tersebut penjualan AQUA cukup lumayan. Tetapi secara keseluruhan, penjualan Aqua masih kecil sekali dibandingkan dengan kapasitas produksi yang dimiliki yakni 6 juta liter per tahun.

Promosi dari rumah ke rumah pun dilakukan dengan gencar. Untuk keperluan itu, AQUA merekrut empat orang tenaga penjual terdiri dari tiga pria dan satu wanita, untuk mengunjungi rumah-rumah maupun kantor-kantor perusahaan asing.

Tanggapan orang asing sangat berbeda dengan tanggapan orang Indonesia. Bila datang ke orang asing mereka umumnya sudah mengetahui mengenai air minum yang dikemas dalam botol yang di negara mereka dikenal sebagai bottled water atau mineral water.

Sedangkan, di kalangan umum orang Indonesia konsep tersebut belum banyak yang mengenal. Kalau pun ada mereka berasal dari kelas atas yang sering bepergian keluar negeri. Kebanyakan konsumen yang dihubungi pada waktu itu terheran-heran atau bahkan menertawakan gagasan menjual air minum dalam kemasan.

Komentar mereka antara lain,”Air sumur saya bagus, buat apa saya beli air mahal!” atau “Ah, air kok dijual, saya mendapatkan gratis dari sumur saya.”
Karena pada waktu itu produksi AQUA masih berlangsung tiga jam sehari. Maka waktu luangnya dimanfaatkan Willy Sidharta untuk berada di kantor pemasaran AQUA yang pada waktu itu mengontrak sebuah rumah di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat.

Willy membantu promosi AQUA dengan membawa sendiri mobil pikap dengan produk di dalamnya serta menawarkannya dari rumah ke rumah. Ia masih ingat benar bagaimana pada waktu itu, diberi gratis pun konsumen lokal masih merasa takut karena menyangka AQUA bukan air biasa dan mengandung bahan kimia sebab memiliki sebutan umum air mineral. “Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak orang yang menolak,” katanya.

Mantan perokok berat itu juga tak jarang menyopiri truk sendiri untuk mengantar AQUA ke pelanggan. “Saya pernah kejedot pintu di Hotel Kemang saat menurunkan botol-botol AQUA,” ujar Willy sambil mengelus-elus bagian atas kepalanya.

Karena pada waktu itu dana yang dimiliki AQUA masih sangat terbatas maka perusahaan belum mampu beriklan. Ditempuhlah cara paling murah yaitu promosi melalui kontak langsung dengan konsumen dengan memberikan sample produk serta memberikan penjelasan berupa product knowledge melalui brosur sederhana di tempat-tempat umum dan pada even-even olahraga. Melalui cara tersebut, sedikit demi sedikit persepsi konsumen lokal tentang AQUA mulai terbentuk. Namun penjualan masih saja tersendat dan tidak mampu mencapai titik impas, Itu berarti Tirto Utomo harus menombok biaya terus setiap bulan.

Pada waktu itu, tepatnya di tahun 1975, pucuk pimpinan AQUA mengalami pergantian, karena Slamet Utomo memutuskan untuk hijrah ke Amerika Serikat. Tirto Utomo kemudian menunjuk adiknya, Sindhu Kamarga, untuk menjadi Presiden Direktur.

Untuk menangani masalah operasional sehari-hari diangkat seorang profesional sebagai General Manager, yakni Jim Wiryawan, yang mempunyai pengalaman di beberapa perusahaan consumer goods.

Sementara itu, kantor juga pindah ke lokasi yang lebih layak di Jalan Blora Nomor 3, Jakarta Pusat.

Pada tahun 1977 terjadi lagi penggantian pimpinan karena Jim Wiryawan mengundurkan diri dan diangkatlah Ridwan Hadikusuma, adik dari Slamet Utomo.

Antara 1974 hingga tahun 1977, beberapa kemasan baru diluncurkan sebagai upaya untuk meningkatkan penjualan guna mencapai titik impas.

Tabel 1. Daftar Kemasan AQUA dari masa ke masa



JENIS KEMASAN/PRODUK
Tahun


950 ml
1974

300 ml
1975

5 gallon
1975

1500 ml PVC
1981

625 ML PVC
1982

200 ML DOYPACK
1983

375 ML
1983

ICE CUBE
1983

120 ML
1983

180 ML
1983

Bag in Box 10 liter
1984

1500 ML PET
1985

500 ML PET
1986

360 ML
1985

220 ML
1985

1085 ML
1986

10 LITER
1988

5 LITER
1991

5 GALLON PRIMA / NO SPILL
1994

1500 ML PRIMA
1995

330 ML
1997

380 ML
2000

1 liter
2004

AQUA Splash Fruit 500 ml
2004

Mizone 500 ml
2005


Ketika penjualan mulai meningkat dan kebutuhan untuk melakukan door to door delivery muncul, Willy Sidharta diminta untuk sekalian menanganinya dari pabrik.

Willy membangun sistim delivery door to door yang sederhana tapi efektif dan mampu memberikan layanan yang baik kepada para pelanggan AQUA yang waktu itu kebanyakan orang asing dan kalangan eksklusif. Dari sinilah cikal bakal sistim direct delivery AQUA yang tangguh.

Kelak setelah AQUA maju --- setelah terbentuk bagian penjualan ---- operasional direct delivery ini di serahkan ke bagian penjualan.

Dengan makin bertambahnya pelanggan kemasan 5 gallon, manajemen door to door delivery ini mengalami masalah dan banyak menimbulkan ketidakpuasan pelanggan. Masalah itu memuncak sekitar 1987 ketika banyak pelanggan yang dikirim pertama kali saja dan selanjutnya tidak pernah dikirim lagi.

Tirto Utomo memanggil Willy Sidharta dan menugaskannya untuk membenahi sistim direct delivery ini. Willy segera mengumpulkan semua pihak yang menangani direct delivery dan menemukan bahwa penyebabnya karena tidak ada sistim dan prosedur yang baik dalam manajemen direct delivery tersebut. Akibatnya tidak terjadi komunikasi antara petugas yang satu dengan petugas yang lain.

Dalam hal ini petugas bagian “first delivery” yang bertugas memasang dispenser di pelanggan sekaligus mengirim beberapa botol AQUA 5 Gallon untuk pertama kalinya, tidak memberikan laporan dan data kepada bagian pengiriman rutin.

Pantas saja pelanggan tersebut tidak menerima pengiriman kedua dan seterusnya. Willy segera membuat prosedur berikut formulir yang diperlukan. Segera setelah prosedur tersebut dijalankan maka problem delivery itu hilang.

Namun, akibat peristiwa itu, hubungan Willy dengan bagian penjualan, sempat merenggang. Mereka kurang dapat menerima keputusan Tirto Utomo yang menugaskan Willy yang bukan dari bagian penjualan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tentu saja ada alasan kuat bagi Tirto Utomo untuk menugaskan Willy untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, karena bagian penjualan sudah beberapa kali ditegur tetapi masalah tak kunjung terselesaikan. Kedua, karena Willy dianggap sebagai orang yang membangun sistim direct delivery sejak AQUA berdiri sehingga mengetahui hingga rinci soal prosedur operasional door to door delivery tersebut.

Ada pengalaman Willy lainnya yang perlu dicatat. Sekitar tahun 1977, entah mendapat laporan atau masukan dari mana, Tirto Utomo pernah mencurigai Willy tidak beres dalam bekerja. Begitu santernya berita itu beredar sampai membuat Tirto menarik kendaraan yang digunakan Willy. Merasa mendapat perlakuan tidak adil dan kecewa Willy sempat melamar pekerjaan di perusahaan lain dan hampir saja ia mengundurkan diri.

Memang Willy tipe orang yang blak-blakan, hantam kromo alias straight forward. Ia tidak biasa berbasa-basi atau menjilat kepada atasan. Willy hanya bicara seperlunya dan sangat formal terhadap atasannya. Sedangkan yang lain bisa ikut main golf atau ngobrol sambil ngopi atau berkunjung ke rumah Tirto Utomo.

Tetapi, entah mendapat masukan dari mana lagi, Tirto Utomo akhirnya menyadari bahwa prasangkanya terhadap Willy tidak benar. Pada suatu hari Tirto memanggilnya ke kantornya yang terletak di Jalan Raden Saleh, Jakarta. Dalam hati Willy muncul pikiran : ”Wah, ini dia, pasti saya akan dipecat”

Apa yang dikatakan Tirto Utomo kepada Willy Sidharta dalam pertemuan tersebut? Tirto hanya mengatakan dua kalimat pendek.

Kalimat pertama berbunyi : “Willy, mulai hari ini kamu saya angkat sebagai direktur”

Kalimat kedua ditujukan kepada asisten Tirto yakni Surya Gunardi,”Tjiang, segera atur dokumen yang diperlukan.”

Begitulah Tirto Utomo, ia tidak pernah secara langsung minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Tetapi dari tindakannya seseorang bisa merasakan permintaan maafnya dan sekaligus merupakan apresiasi terhadap semua yang telah dilakukan Willy terhadap perusahaan.

Mendapatkan kepercayaan seperti itu, Willy yang pada dasarnya orang yang sangat idealis, mendedikasikan semua kemampuannya untuk menumbuhkembangkan AQUA, yang bisa dilihat dari semua hasil karyanya selama 33 tahun mengabdi di AQUA.

Sejak saat itu, Willy menjadi salah satu tangan kanan Tirto Utomo, khususnya di bidang operasional sekaligus menjadi “tempat sampah”. Artinya, setiap kali Tirto membutuhkan bantuan atau solusi dan tidak tahu siapa yang disuruhnya, ia pasti minta bantuan kepada Willy. Julukan “tempat sampah” tersebut berasal dari orang-orang di kantor Tirto Utomo sendiri.

Willy yang pada dasarnya “sudi gawe” tentu dengan senang hati membantu dan menyelesaikan semua yang ditugaskan kepadanya dengan baik.***

Sunday, January 7, 2007

KILAS BALIK SANG PROFESIONAL

Keputusannya untuk hijrah ke Jakarta telah mengubah nasibnya dari pemilik toko kelontong kecil di pedesaan Malang menjadi professional hebat di bidang air minum dalam kemasan. Bagaimana kilas balik Willy Sidharta sesungguhnya?


Suatu hari seorang pemuda ditabrak sepeda. Dengan cekatan ia menangkap dan membawa penabraknya ke kantor polisi. Ternyata sepeda itu curian. Pemuda itu tidak lain dan tidak bukan adalah Willy Sidharta.

Ketika itu Willy sedang dalam perjalanan ke sebuah acara sosial di sebuah kelenteng di Pasuruan Jawa Timur. Kebetulan sepeda itu dicuri dari sana. Jadi dalam peristiwa itu kebenaran sekaligus ditegakkan.

Pada kesempatan lain, beberapa tahun kemudian, di Jakarta, Willy ditodong orang di Jalan Thamrin Jakarta. Willy tidak kehilangan serupiah pun, malahan ia berhasil merebut pisau dari penodongnya. Oleh karena itu, jangan coba-coba berbuat jahat kepada Willy Sidharta yang bertubuh ramping dan selalu tampak sederhana itu.

Sejak kecil Willy Sidharta sudah memiliki sifat penolong, rajin, teliti serta penuh dedikasi. Suatu ketika ia bertamasya ke sebuah pemandian. Tiba-tiba tampak seorang anak kecil hanyut di gorong-gorong air. Dengan sigap ia melompat dan menyelamatkan anak tersebut. Rupanya ada seorang anak dari rombongan anak cacat yang terjerumus ke air tanpa ada yang tahu. Untungnya, anak itu masih dapat diselamatkan.
Willy Sidharta lahir di Desa Tumpang, sekitar 25 kilometer sebelah Timur kota Malang, Jawa Timur pada tanggal 10 November 1946. Ia yang memiliki nama asli Ang Hwie Liang merupakan sulung dari 14 bersaudara. Ayah ibunya bernama Ang Thian Poo dan Phoa Giok Kiauw. Sejak lahir ia memang sudah biasa digembleng untuk menghadapi kondisi yang serba sulit.

Pada waktu itu sedang ramai ramainya revolusi, sehingga keluarga orang tuanya harus mengungsi ke dusun yang lebih jauh yaitu Desa Ngadireso. Masa tersebut adalah masa sulit sehingga untuk susu pun sangat sulit diperoleh, dan harus berjalan kaki sejauh lebih dari 30 km ke kota Malang untuk membelinya. Maka ketika si kecil menangis atau lapar, terpaksa diberi nasi lembek yang dibentuk dengan tangan menjadi kepalan sebagai ganti dot susu.

Setelah revolusi mereda, Willy kecil diboyong neneknya ke Malang. Maklumlah, ia merupakan cucu pertama yang paling disayangi. Kelak kemudian hari pamannya __________ yang terkenal amat keras dan disiplin ikut menggembleng dirinya. Demikian keras cara mendidiknya sampai cara berjalanpun perlu diatur oleh sang paman. Kalau kaki agak bergerak menutup saja, Willy segera dipukul dengan gagang kemoceng (ujung bulu kucing pembersih yang biasanya terbuat dari rotan). Tidur siang pun harus tertib dan sudah ditentukan waktunya.

Di masa kecil Willy gemar membaca buku, terutama komik. Ia seringkali membolos tidur. Artinya, ia tetap di kamar dan di tempat tidur tapi di bawah bantalnya pasti ada komik.

Kalau mendengar suara maka Willy akan segera menyembunyikan buku di bawah bantal dan pura-pura tidur. Pada awalnya ia sering ketahuan kalau pura-pura tidur. Apa pasal? Ternyata nafas orang tidur pulas dan berpura-pura tidur itu berbeda. Kalau tidur sungguhan nafas lebih teratur. Setelah mempelajari napas orang tidur dengan cara memperhatikan orang tidur, Willy dapat menirukannya dengan sempurna sehingga jarang ketahuan.

Pamannya juga seorang yang sangat mandiri. Pada waktu itu, sang paman memiliki beberapa mobil yang dioperasikan sebagai angkutan umum yang lazim disebut opelet. Selain itu, sang paman juga membuka bengkel untuk kalangan terbatas. Pelanggannya orang-orang tertentu saja yang sangat peduli terhadap kondisi mobilnya.

Karena pada waktu itu suku cadang kendaraan susah diperoleh. Seringkali suku cadang harus dibuat sendiri. Setelah beranjak dewasa, Willy sering membantu pamannya di bengkel. Begitu pulang sekolah, Willy langsung berganti pakaian bengkel dan ia sudah berada di bawah badan mobil untuk mengutak-atik mesin atau bagian lainnya.

Setiap subuh sekitar pukul empat pagi , Willy pasti sudah berada di garasi untuk memeriksa opelet yang akan dioperasikan para sopir pukul 5 pagi. Ia dengan cermat memeriksa tekanan ban, olie, air karburator serta air aki. Semua dicek dan ditambahkan bila perlu.

Dari sinilah sifat mandiri dan perfeksionis muncul dan terbawa sampai sekarang. Ayahnya berasal dari keluarga pedagang kaya hasil bumi. Namun, karena tidak memperoleh restu untuk menikah dengan ibunya, sang ayah memilih keluar dari keluarga dan memulai usaha sendiri dari nol.

Mula-mula dengan menggelar tikar di pasar, berdagang kain sarung dan barang tekstil lainnya. Usahanya berkembang terus sampai memiliki toko sendiri yang akhirnya menjadi toko kelontong terbesar di desa itu .Selain itu, sang ayah juga mempunyai perusahaan susu dengan memelihara sekitar 40 ekor sapi perah.

Ibunya juga seorang pekerja keras yang ulet. Setiap pagi pukul satu dini hari ia sudah bangun untuk mengawasi pemerahan sapi dan langsung mengemasnya untuk dikirim ke Malang.

Masa Sekolah

Sekolah dari TK sampai SMA semua dijalani Willy Sidharta di kota Malang. Prestasi Willy tergolong biasa-biasa saja tetapi di setiap jenjang sekolah ia selalu mempunyai teman karib yang akrab.

Meskipun tergolong pendiam, Willy bisa menjadi sangat sensitif dan emosional bila sudah tersinggung. Tidak mengherankan bila ia seringkali berkelahi dengan teman atau anak lain yang kadang-kadang mengejeknya sampai melampaui batas kesabarannya.

Karena sejak SMP dan SMA, Willy bersekolah di sekolahan khusus laki-laki, maka kesempatan untuk berpacaran tidak banyak. Meskipun ada banyak teman wanita dari pergaulan dengan kelompok teman-temannya.

Meskipun Willy mengikuti kegiatan kepanduan (yang lazim disebut Pramuka sekarang), ia tidak terlalu banyak memiliki kegiatan organisasi. Kegiatan berorganisasi baru mencuat ketika Willy pada tahun 1965 memasuki perguruan tinggi di Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya di kota Pasuruan, Jawa Timur.

Ketika itu, situasi bertepatan dengan peristiwa G30S. Kota Pasuruan termasuk salah satu wilayah yang dianggap sebagai basis PKI sehingga aktivitas untuk menggayang antek PKI sering terjadi di sini. Melihat mayat di bergelimpangan di sungai atau lokasi-lokasi lainnya sudah menjadi pemandangan biasa pada waktu itu.

Aktifitas Willy pada waktu itu sangat luas, mulai dari kegiatan mahasiswa, pemuda, kebudayaan sampai kegiatan di Partai Katholik pun digelutinya. Bahkan, pada suatu saat, Willy merangkap hingga 16 jabatan. Pada waktu itu, kegiatannya berlangsung dari pagi hingga menjelang pagi esok harinya. Itu berarti tidur hanya dilakukan sekitar 4-5 jam saja setiap hari. Bahkan, rekor yang dipegangnya adalah selama 126 jam (hampir selama 5 hari) tidak tidur sama sekali. Beberapa temannya sempat kuatir sehingga kemudian mencampur kopi yang diminum Willy dengan whisky sehingga ia langsung tertidur.

Akibat terlalu banyak kegiatan, Willy akhirnya tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik sehingga harus pindah ke Fakultas Sipil Universitas Atma Jaya di kota Malang pada akhir 1967. Namun, karena kurang cocok akhirnya Willy memutuskan untuk berhenti kuliah akhir 1968.

Keputusan itu tidak pernah disesalinya seumur hidup. Apalagi dua tahun sejak itu Universitas Atma Jaya di Malang ditutup yang disusul pula Fakultas Tehnik Mesin di Pasuruan.

Namun, satu hal yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, di kota Pasuruan itulah Willy menemukan pasangan hidupnya yang sangat serasi dan selalu mendukungnya selama 24 tahun. Namanya, Catharina Maria Martha Dewi.

Perkawinan mereka dilangsungkan pada Desember 1968. Keduanya dikaruniai dua orang putri yakni Fransiska Sidharta yang lahir pada tahun 1972 dan Yovita Sidharta yang lahir pada tahun 1976.

Membantu Usaha Keluarga dan Membuka Toko

Setelah berhenti kuliah tahun 1968, Willy kembali ke rumah orang tuanya di Tumpang dan membantu usaha susu yang sangat sederhana. Ia kembali dan mengurusi pengiriman susu ini ke Malang ke para agen yang selanjutnya mendistribusikan langsung ke pelanggan.

Setelah berlangsung selama setahun, Willy memisahkan diri dan mengontrak rumah tak jauh dari rumah orang tuanya sekalipun masih membantu usaha susu orang tuanya. Willy kemudian mulai membuka usaha sendiri berupa sebuah toko kecil yang dimulai dari modal pinjaman, yang akhirnya menjadi cukup besar.

Willy bangun pukul tiga dini hari dan sekitar pulul empat ia sudah berangkat ke Malang menggunakan mobil pikap untuk mengangkut susu. Sekembalinya Willy mengangkut para pedagang yang hendak berdagang ke pasar Tumpang sebab mobilnya termasuk salah satu kendaraan yang paling pagi tiba di pasar. Selain itu, kendaraan pikap membuat para pedagang lebih mudah mengangkut barangnya.

Begitu tiba kembali ke rumah, Willy langsung membuka toko dan sementara dia mandi, toko dijaga oleh isterinya. Siang hari Willy melakukan kegiatan yang sama, mengantar susu batch tengah hari sekitar pukul satu siang.

Melalui kebiasan kerjanya sehari-hari itu, Willy Sidharta menjadi terbiasa tidur selama 4 atau 6 jam saja dalam sehari. Tokonya baru tutup sekitar jam sembilan atau sepuluh malam.

Pulang dari mengantar susu pada siang hari, Willy sering membawa barang dagangan untuk dijual di tokonya yang dibeli dari langganan grosir di Malang. Tokonya pada waktu itu juga menjadi agen roti Bima yang pada masa itu menjadi salah satu roti favorit di Tumpang.

Pada tahun akhir tahun 1972, Willy dan isterinya berkunjung ke Jakarta, antara lain bertemu dengan teman karibnya semasa kuliah di Pasuruan bernama ____________ , yang mengajaknya untuk bergabung bekerja di Nissin Buskuit.

Sekembalinya dari Jakarta Willy berunding dengan isterinya. Mereka akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dengan keyakinan bahwa di Jakarta mereka bisa lebih berkembang. Pada dasarnya Willy sudah sangat bosan dengan apa yang digelutinya saat itu yang dianggapnya statis.

Bulan April 1973, Willy dan keluarga pindah ke Jakarta dan untuk sementara menumpang di rumah mertuanya yakni Bapak ____________ yang saat itu diminta menjaga rumah kosong yang kebetulan milik mertua Tirto Utomo.

Sesampainya di Jakarta, Willy bekerja di Nissin Biskuit sebagai Penyelia (supervisor) di bagian pengemasan.

Baru beberapa minggu bekerja, Willy ditawari untuk membantu Slamet Utomo, ipar dari Tirto Utomo, yang hendak mulai mendirikan bisnis air mineral. Pada waktu istilah air minum dalam kemasan (AMDK) lebih dikenal dengan sebutan air mineral.

Karena Willy lebih senang dengan sesuatu yang menantang, maka ia segera menyambut tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa pekerjaan di Nissin akan lebih monoton dan kurang menantang. Menurut Willy memulai sesuatu yang baru lebih banyak dinamikanya.

Pertimbangan lain, organisasi di Nissin sudah tersusun dengan rapi sehingga akan lebih sulit untuk meraih posisi yang lebih tinggi. Sedangkan di AQUA, sebagai organisasi baru akan lebih mudah karena masih banyak posisi yang kosong. Ini sesuai dengan karakter Willy yang mempunyai ambisi yang tinggi serta semangat yang menyala nyala.

Menurut Willy sebagai manusia yang ingin maju, seseorang harus punya ambisi. Dalam arti positif, ambisi dapat diterjemahkan sebagai dream karena segala sesuatu berawal dari sebuah impian. “Selanjutnya, kita harus berjuang dan bekerja keras untuk bisa mencapai impian tersebut, “ ujarnya dengan penuh rasa percaya diri. ***

MENGATASI GANGGUAN AIR MINUM ISI ULANG

Pangsa pasar AQUA sempat terganggu dengan munculnya fenomena air minum isi ulang. Bagaimana Willy Sidharta mengatasi masalah yang cukup pelik tersebut?


Air Minum Isi Ulang (AMIU) mulai berkembang pada 1998. Di negara Paman Sam, AMIU dinamakan Water Refill Station. Pengoperasiannya secara otomatis dan biasa ditempatkan di depan pasar swalayan. Bentuknya semacam almari kaca yang di dalamnya dapat ditaruh botol gallon ukuran 5 liter atau 19 liter . Setelah koin dimasukkan maka air akan mengisi sendiri. Umumnya air hasil olahannya berupa reverse osmosis (RO) atau sejenis dengan air suling yang tidak mengandung mineral. Tetapi, saat ini di pasaran sudah tersedia AMIU yang menghasilkan air mineral.

Di Indonesia AMIU dipelopori Slamet Utomo. Ia sebenarnya merupakan salah satu pendiri AQUA. Namun, ketika Danone hendak masuk Slamet Utomo memutuskan untuk mendirikan perusahaan air minum isi ulang di bawah bendera PT Slamet Tirta Sembada. Merek dagangnya Agura. “Nama itu kemungkinan diambilnya dari nama AGORA karena dia pernah tinggal di Kalifornia, AS cukup lama,” duga Willy Sidharta.

Sebetulnya depot isi ulang pada waktu itu tidak terlalu berkembang. Beberapa pemain AMIU yang tergolong besar lainnya adalah Amira, Vinaqua dan AG21. AMIRA dirintis Budi Darmawan mantan karyawan PT Astra International bersama dua rekannya Gunawan dan Faisal.

Pada awalnya kemunculan AMIU sangat menggoda. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran harga air minum isi ulang yang sangat murah dibandingkan AMDK? Kemasan ukuran botol 5 galon hanya dijual dengan harga Rp 2.500 – Rp 3.000 sementara AMDK dibanderol Rp 5.000 hingga Rp 9.000. Jika konsumen yakin akan kualitasnya maka tidak ada keraguan lagi menggunakan air minum isi ulang sebagai air minum.

Seorang konsumen mengaku beralih ke AMIU karena harganya sangat terjangkau. “Memperolehnya juga mudah. Tinggal telepon ke depot AMIU yang dipesan segera sampai di rumah,” ia mengungkapkan. Hanya saja, sejauh ini ia belum memanfaatkannya sebagai air minum melainkan untuk memasak.

Kemampuan AMIU masuk ke permukiman melalui depot-depotnya --- antara lain dikembangkan dengan system waralaba --- yang tumbuh pesat, tak pelak lagi, membuat pemain di bisnis AMDK merasa gerah. Asosiasi Pengusaha Depot Air Indonesia (Aspadin) yang bermarkas di Jawa Timur mencatat pertumbuhan depot AMIU yang luar biasa pada 2002 dan 2003.

Dalam pertemuan dengan Aspadin 3 Juli 2002 di Hotel Borobudur, Jakarta yang dipermasalahkan para pemain AMDK bukan penetrasi pasar AMIU yang cukup cepat melainkan tidak adanya aturan main yang jelas. Willy Sidharta selaku Ketua Aspadin berpendapat bahwa keberadaan depot AMIU yang tidak terkendali dan tanpa pengawasan serta seenaknya melanggar etika bisnis sangat mengganggu industri AMDK.

Bagi Willy kehadiran AMIU sebenarnya fenomena bisnis normal dan biasa sebagaimana terjadi di AS, Filipina, Turkli maupun Negara lain. Masalahnya, di Indonesia belum ada peraturan tentang keberadaan depot isi ulang sehingga tidak ada pengawasan dan control yang jelas. “Kehadiran depot isi ulang menimbulkan persaingan yang tidak fair. Sebab, para pemain yang bergerak di industri AMDK punya kewajiban memenuhi berbagai standar dengan segalan dampaknya terhadap biaya. Sementara itu, di pihak lain, depot isi ulang menangguk untung besar tanpa ada kewajiban memenuhi persyaratan dan peraturan, termasuk jaminan terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen.

Harga AMIU yang sangat miring memang bisa menjadia ncaman serius bagi pemain AMDK. Namun, menurut Slamet Utomo pengelola merek Agura dibawah PT Slamet Tirta Sembada, harga AMIU dapat murah karena rtidak memerlukan biaya pengemasan, distribusi dan bongkar muat sebagaimana dilakukan perusahaan AMDK. Biaya produksi AMIU setiap botol 5 galon sebesar Rp 1.000. Bila dijual Rp 2.500 berarti keuntungan sebesar Rp 1.500 per kemasan 5 galon.

Penyebaran depot air minum isi ulang tersebut melalui dua cara : beli putus dan system waralaba. Pemain-pemain besar umumnya memilih waralaba sehingga pertumbuhannya dapat lebih cepat. Beberapa pemain AMIU yang tergolong besar antara lain Agura, Amira, Vinaqua dan AG12. Pada tahun 2002 Agura mammpu menjual 3000 galon per hari, Amira 2500, AG21 2000 dan Vinaqua 1500. Total pada 2002 seluruh industri AMIU mampu menjual rata-rata 15.000 botol ukuran 5 galon per hari. Agura menguasai 17 %, disusul Amira (15%), AG21(11%) dan Vinaqua (6%).

Agura sebagai perintis AMIU sejak 1998 hingga tahun 2002 telah memiliki 20 depot. Untuk mengembangkan pasar perusahaan ini memilih bekerjasama dengan pihak lain. Caranya, investor menyediakan tempat dan menyediakan biaya desainnya sedangkan peralatan dipasok Agura. Modal yang dibutuhkan sekitar Rp 60 juta dengan catatan investor mendapatkan 40% penjualan setiap bulan. Sementara Vinaqua menetapkan pewaraba harus membayar fee waralaba Rp 80 juta ke PT Hamaro, pengelola Vinaqua. Kini di Koran-koran banyakj yang menawakan paket mesin pengolah air minum isi ulang dengan harga Rp 36 juta bahkan lebih murah lagi.

Willy mengakui sejak 1998 pihaknya sudah was was dengan kehadiran depot AMIU. Hal itu pun sudeah disampaikan ke Departemen Perindustrian tetapi belum memperoleh tanggapan yang memuaskan.

Gerahnya Aspadin terhadap depot MIU wajar. Willy sebagai Ketua Aspadin menjelaskan, tahun 2003, mereka memproyeksikan pertumbuhan penjualan perusahaan AMDK mencapai 20%. Hal itu berdasarkan kenyataan pertumbuhan 2001-2002 yang mencapai 25%-30%. Namun, proyeksi tadi ternyata tidak terealisasikan sebab tiga bulan pertama tahun 2003 pertumbuhan penjualan perusahaan AMDK mencatat angka nihil. Bahkan, beberapa diantaranya sudah minus.

Willy mengungkapkan pertumbuhan depot AMIU memang luar biasa. Tahun 2003, jumlah depot AMIU mencapai 3 ribu padahal pada 2002 hanya 700 depot. Khusus Jabotabek sampai April 2003 sudah mencapai 1700 depot. Sudah begitu di Bandung dan Surabaya hamper 25 % botol kemasan 5 galon tidak kembali ke pengusaha Aspadin karena kemudian di isi ulang ke depot AMIU.

Mengapa tiba-tiba pada tahun 2003 depot AMIU meledak?

Menurut Willy Sidharta hal itu terjadi karena AQUA melakukan kesalahan dalam penetapan harga. Waktu itu harga dinaikkan 5 % tetapi 3 bulan kemudian harga dinaikkan lagi dengan anggapan bahwa merek AQUA cukup kuat untuk mendukung peningkatan harga. Memang cukup kuat. Asalkan alasan kenaikan harga cukup kuta bagi konsumen maka konsumen dapat menerima. Kemudian naik 5 % lagi yang menimbulkan perdebatan di manajemen bahwa AQUA semena-mena dalam menaikkan harga. “Kenaikan harga tersebut menyebabkan konsumen kecewa karena tidak ada pemicunya kok tiba-tiba harga naik, “ ia mengungkapkan.

Kalau yang pertama konsumen maklum karena ada kenaikan BBM. Sebetulnya pada waktu pertama kalau mau naik 10% pun pati tidak apa-apa. Tetapi karena AQUA naik dua kali itu membuat konsumen marah dan kecewa, merasa dipermainkan, merasa AQUA sewenang-wenang sehingga akhirnya mereka banyak yang pindah ke depot isi ulang. Keputusan kenaikan harga kedua itu banyak yang tidak setuju terutama dari kalangan tenaga penjual yang merupakan orang lapangan yang paling tahu bagaimana meng-handle konsumen. Bagaimana suara konsumen dan bagaimana persepsi konsumen sehingga sebenarnya mereka menolak keras. Sehingga meski keputusan diambil secara tidak bulat akhirnya dilaksanakan juga. Akibatnya memicu eksodus konsumen dari Danone AQUA ke isi ulang.

Momentum itu dimanfaatkan dengan baik oleh depot-depot isi ulang yang menjual air dalam kemasan 5 galon antara Rp 2.500 hingga Rp 3000 dibandingkan AQUA yang Rp 8000-Rp 9000. Dalam tahun 2003 terjadi peningkat jumlah depot isi ulang menjadi lebih dari 4000 unit.

Tahun 2004 AQUA melakukan kampanye dan lobi dengan pemerintah sehingga dikeluarkan peraturan-peraturan yang bisa meregulasi depot isi ulang dan AMDK. Tetapi toh itu tidak efektif. Yang efektif adalah kampanye dari Aspadin pada waktu itu. Jangan mengisi botol kemasan AQUA di tempat isi ulang. Sebetulnya pada waktu itu sempat terjadi mereka mermakai botol polos tetapi setelah cooling down mereka memakai botol AQUA lagi.

Pada 2004 sudah terjadi keseimbangan dan segmentasi yang jelas. Jadi konsumen AMDK punya segmen sendiri dan depot isi ulang punya segmen pasar sendiri.

Setelah menuai pertumbuhan pesat tahun 2003 dengan menguasi pangsa pasar hingga 30 % di segmen botol 5 galon pada akhir tahun 2004 jumlah menciut tinggal 24 % saja. Kemudian pada 2005 jumlah produk air minum isi ulang yang bisa dijual para pedagangnya makin menyusut lagi. Daya tarik harga yang murah dibandingkan air minum dalam kemasan (AMDK) serta jarak yang dekat dengan perkampungan serta kompleks perumahan, termasuk fasilitas pengiriman gratis ternyata tak bisa dijadikan jurus ampuh merengkuh pembeli lagi.

Dari total produksi air minum sebanyak 9 miliar liter pada tahun 2004 air minum isi ulang yang dijual dengan harga Rp 2.500 –Rp 3.000 per 5 galon hanya mampu menyumbang 1,4 miliar liter. Akibatnya, sejumlah depo atau gerai air minum isi ulang pun tutup.

Menurut Willy Sidharta, penurunan permintaan air minum isi ulang disebabkan konsumen berpindah kembali membeli air minum AMDK yang lebih terjamin kualitasnya dan selalu dalam keadaan tersegel. “Setelah merasakan sendiri, banyak konsumen air minum isi ulang yang pindah ke AMDK,” ujarnya.

Kecenderungan kembalinya konsumen kepada AMDK tersebut tentu sangat menyenangkan bagi produsen AMDK karena bisnisnya bakal semarak lagi. Bisnis AQUA pada 2003 ketika air minum isi ulang mengalami masa keemasan hanya mengalami pertumbuhan 2 %. “Bahkan untuk kemasan 5 galon pertumbuhannya minus 4 persen,” tutur Willy Sidharta.

Sejak Desember 2004 berlaku Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya. Sesuai SK Menteri itu usaha depo air air minum diatur dengan syarat yang lebih jelas. Diantaranya wajib memiliki tanda daftar industri (TDI) dan tanda daftar usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). Selain itu, pengusaha depo air isi ulang harus memiliki surat jaminan pasok air baku --- air yang belum diproses atau sudah diproses menjadi air minum --- dari PDAM atau perusahaan yang punya izin pengambilan air dari instansi yang berwenang.

Dengan aturan seperti itu maka tidak semua orang dapat membuka usaha air minum isi ulang dengan biaya yang murah lagi

Sementara itu selain AMIU di masa depan industri AMDK juga harus mewaspadai ancaman POU (Point of Use Filter). Dinamakan begitu karena masyarakat meletakkan filternya di kitchen sink dan tinggal membuka kran saja. Di pasaran POU sudah tersedia dalam berbagi merek antara lain Yamaha, Sharp dan Lux. ***