Tuesday, January 9, 2007

KEPUTUSAN TEPAT MENITI KARIER DI AQUA

Keputusannya untuk bergabung pada perusahaan baru ketimbang yang sudah mapan rupanya tepat. Karirnya melesat dengan cepat dan posisi presdir diraihnya dalam waktu sekitar 13 tahun. Apa saja yang dialami Willy pada masa itu?


Setelah sepakat untuk bergabung di AQUA, Willy segera mengajukan pengunduran diri dari Nissin. Atasan Willy yang orang Jepang, sangat terkejut, karena Willy meskipun baru masuk kurang dari sebulan, sudah menunjukkan semangat yang tinggi dan ia bermaksud untuk memberikan posisi yang lebih baik.

Namun, keputusan Willy sudah mantap. Ia tetap mengundurkan diri dan segera bergabung dengan AQUA yang waktu itu masih dalam bentuk akte notaris saja.

Segera Slamet Utomo membeberkan rencana untuk mendirikan pabrik air mineral. Nama perusahaan sudah ditetapkan dalam akte notaris yaitu PT Golden Mississippi.

Pemilihan nama yang sangat berbau Amerika tersebut untuk memberikan citra sebagai perusahaan Amerika. Apalagi sasaran pasar yang dituju kalangan ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Perlu diketahui, pada waktu itu kepercayaan terhadap produk Indonesia amatlah rendah sehingga diperlukan citra asing bila hendak menjangkau konsumen asing. Mulanya Tirto Utomo sempat ragu, apakah perusahaan akan diberi nama PT Golden Mississippi atau PT Golden Colorado. Pilihan akhirnya menggunakan nama PT Golden Mississippi. Selain lebih mudah diucapkan juga dirasakan lebih keren.

Menurut perhitungan Tirto Utomo, apabila 10 % saja orang asing yang ada minum air mineral, maka dengan mudah akan mencapai tingkat konsumsi sebesar sekitar 5 juta liter per tahun.

Karena tidak mempunyai pengalaman sama sekali dibidang industri air mineral, maka Tirto Utomo menghubungi Polaris di Thailand yang pada tahun 1973 sudah berumur 16 tahun. Kontak dilakukan dan segera Tirto Utomo menyuruh Slamet Utomo untuk belajar ke Thailand. Pihak Polaris menerimanya dengan tangan terbuka.

Tidak mengherankan bila pada awalnya, AQUA merupakan duplikat dari Polaris. Dari desain pertama, yaitu botol kaca 500 ml, mesin pengolahan air dan mesin pembotolan (pencuci botol dan pengisi botol) semua persis sama seperti yang dimiliki Polaris.

Willy mulai bergabung dengan AQUA 19 Juni 1973 dan ditugaskan sebagai project officer untuk pembangunan pabrik pertama AQUA. Gaji yang diterimanya sebesar Rp 25.000 per bulan.

Sebagai langkah pertama, Willy bersama Slamet Utomo mencari lokasi tanah untuk pabrik. Saat itu, entah kenapa pilihan jatuh ke Bekasi. Sebidang tanah datar dan kering di Desa Pondok Ungu yang terletak di KM 27 jalan raya antara Jakarta – Bekasi menjadi pilihan. Wilayah tersebut pada waktu itu masih terdiri dari sawah yang menghampar luas di sekitar saluran irigasi Jatiluhur.

Ketika Willy sedang kebingungan duduk di atas tumpukan bambu di depan tanah tersebut datanglah Ketua RW setempat yang bernama M. Semu. Ia menyapa Willy dan menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui Willy hendak menemui pemilik tanah tersebut maka ditunjukkan kepadanya rumah Tek Kong, pedagang beras di Kota Bekasi yang menjadi pemilik tanah tersebut.

Kelak ketika pabrik sudah berdiri, M. Semu direkrut Willy menjadi karyawan pertama di pabrik Bekasi itu sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) sekaligus menjadi jembatan untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Transaksi segera dilakukan dan tanah segera menjadi milik PT Golden Mississippi. Masalah yang timbul kemudian adalah pengurusan ijin yang berkepanjangan. Namun akhirnya semua dapat dibereskan. Pembangunan pabrik segera dimulai dan sempat terhambat karena kelangkaan semen, sehingga pembangunan baru selesai selama setahun.

Mesin-mesin pun mulai diimpor tanpa perlu pikir panjang lagi dengan hanya menduplikasi mesin-mesin yang dimiliki Polaris. Karena konsepnya meniru Polaris yang menggunakan air tanah dalam dari sumur bor (artesian well water) maka dimulai pula pengeboran sebuah sumur yang mencapai kedalaman 120 meter dari permukaan tanah.

Mengingat sumber air berasal dari sumur bor maka pada logo AQUA yang pertama tertera keterangan produk sebagai “Pure Artesian Water”

Pada saat bersamaan, Tirto Utomo mulai memikirkan logo untuk merek air mineral miliknya. Tirto kemudian menunjuk seorang desainer asal Indonesia yang bermukim di Singapura bernama Eulindra Lim.

Semula konsep merek hendak digunakan adalah “PURITAS”. Nama itu berasal dari kata “purity” yang bermakna kemurnian.

Ketika konsep tersebut disampaikan kepada Eulindra Lim tanpa diduga muncul usulan lain yang sangat brilian. Eulindra mengatakan:”Mengapa tidak memakai merek AQUA saja?”

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan tersebut. Pertama, AQUA mempunyai asosiasi yang tinggi terhadap produk yang akan menyandang merek tersebut yaitu air murni. Kedua, AQUA sangat mudah diucapkan dan mudah diingat.

Tirto segera saja setuju dan muncullah desain logo AQUA yang menjadi sangat populer hingga sekarang, meski beberapa kali dilakukan perubahan atau berevolusi hingga menjadi seperti yang sekarang. Namun satu yang tidak berubah, yaitu jenis huruf atau font AQUA yang bertahan sampai sekarang dan merupakan identitas yang tidak tergoyahkan.

Botol kemasan pun segera dipesan ke pabrik pembuat botol dari beling. Pemesanan tersebut membutuhkan jeda waktu cukup lama karena memerlukan cetakan (mould) yang harus dipesan dari luar negeri. Oleh karena AQUA tidak memiliki gambar botol yang berukuran persis aslinya maka dibuatlah replika botol dari kayu agar pabrik botol dapat memiliki bayangan mengenai bentuk botol yang diinginkan.

Ketika pabrik selesai dibangun dan mesin-mesin mulai berdatangan, Willy Sidharta sempat kebingungan ketika Slamet Utomo mengatakan bahwa pihak AQUA tidak bisa mendatangkan teknisi khusus dari mesin-mesin tersebut karena keterbatasan dana. Namun, hal itu dianggap tantangan tersendiri baginya.” Bagi saya tidak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup saya,” ujar Willy dengan nada serius.

Maka ketika Slamet Utomo bertanya kepada Willy Sidharta : ”Apakah kamu bisa memasang sendiri?” Serta merta Willy menyanggupkan diri asalkan tersedia buku petunjuk yang jelas. Beruntung semua mesin yang dibeli pada waktu itu berasal dari perusahaan terkemuka Amerika Serikat dan Eropa, sehingga semua dilengkapi gambar, spesifikasi dan petunjuk lengkap dalam bahasa Inggris.

Segera Willy merekrut beberapa orang untuk membantunya dan mulai mempelajari mesin yang akan dipasang. Mesin segera diletakkan pada tempat sesuai dengan tata letak yang ditentukan dalam gambar. Instalasi pipa dan listrik pun segera di pasang.

Meskipun membutuhkan waktu agak lama karena belum memiliki pengalaman akhirnya satu per satu mesin dapat beroperasi, dimulai dari mesin pengolahan air.

Karena mesin pencucian botol datang pada gelombang terakhir maka diputuskan untuk memproduksi air minum dengan cara manual. Artinya, pencucian botol dan pengisiannya dilakukan secara manual dulu untuk mengejar waktu supaya bisa segera launching produk baru air mineral.

Willy ditugaskan untuk menangani produksi sekaligus sebagai kepala pabrik yang pertama di pabrik AQUA pertama di Bekasi.

Setelah dilakukan beberapa kali produksi percobaan dan dianggap tidak ada masalah lagi maka pada bulan Oktober 1974 produksi komersial dimulai dan produk AQUA resmi diluncurkan ke pasar.

Peluncuran diutamakan ke komunitas asing atau ekspatriat, melalui toko toko pengecer yang banyak melayani orang asing. Pada waktu itu terdapat banyak komunitas Jepang yang tinggal di Jakarta dan beberapa toko khusus melayani pelanggan masyarakat Jepang. Di toko-toko tersebut penjualan AQUA cukup lumayan. Tetapi secara keseluruhan, penjualan Aqua masih kecil sekali dibandingkan dengan kapasitas produksi yang dimiliki yakni 6 juta liter per tahun.

Promosi dari rumah ke rumah pun dilakukan dengan gencar. Untuk keperluan itu, AQUA merekrut empat orang tenaga penjual terdiri dari tiga pria dan satu wanita, untuk mengunjungi rumah-rumah maupun kantor-kantor perusahaan asing.

Tanggapan orang asing sangat berbeda dengan tanggapan orang Indonesia. Bila datang ke orang asing mereka umumnya sudah mengetahui mengenai air minum yang dikemas dalam botol yang di negara mereka dikenal sebagai bottled water atau mineral water.

Sedangkan, di kalangan umum orang Indonesia konsep tersebut belum banyak yang mengenal. Kalau pun ada mereka berasal dari kelas atas yang sering bepergian keluar negeri. Kebanyakan konsumen yang dihubungi pada waktu itu terheran-heran atau bahkan menertawakan gagasan menjual air minum dalam kemasan.

Komentar mereka antara lain,”Air sumur saya bagus, buat apa saya beli air mahal!” atau “Ah, air kok dijual, saya mendapatkan gratis dari sumur saya.”
Karena pada waktu itu produksi AQUA masih berlangsung tiga jam sehari. Maka waktu luangnya dimanfaatkan Willy Sidharta untuk berada di kantor pemasaran AQUA yang pada waktu itu mengontrak sebuah rumah di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat.

Willy membantu promosi AQUA dengan membawa sendiri mobil pikap dengan produk di dalamnya serta menawarkannya dari rumah ke rumah. Ia masih ingat benar bagaimana pada waktu itu, diberi gratis pun konsumen lokal masih merasa takut karena menyangka AQUA bukan air biasa dan mengandung bahan kimia sebab memiliki sebutan umum air mineral. “Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak orang yang menolak,” katanya.

Mantan perokok berat itu juga tak jarang menyopiri truk sendiri untuk mengantar AQUA ke pelanggan. “Saya pernah kejedot pintu di Hotel Kemang saat menurunkan botol-botol AQUA,” ujar Willy sambil mengelus-elus bagian atas kepalanya.

Karena pada waktu itu dana yang dimiliki AQUA masih sangat terbatas maka perusahaan belum mampu beriklan. Ditempuhlah cara paling murah yaitu promosi melalui kontak langsung dengan konsumen dengan memberikan sample produk serta memberikan penjelasan berupa product knowledge melalui brosur sederhana di tempat-tempat umum dan pada even-even olahraga. Melalui cara tersebut, sedikit demi sedikit persepsi konsumen lokal tentang AQUA mulai terbentuk. Namun penjualan masih saja tersendat dan tidak mampu mencapai titik impas, Itu berarti Tirto Utomo harus menombok biaya terus setiap bulan.

Pada waktu itu, tepatnya di tahun 1975, pucuk pimpinan AQUA mengalami pergantian, karena Slamet Utomo memutuskan untuk hijrah ke Amerika Serikat. Tirto Utomo kemudian menunjuk adiknya, Sindhu Kamarga, untuk menjadi Presiden Direktur.

Untuk menangani masalah operasional sehari-hari diangkat seorang profesional sebagai General Manager, yakni Jim Wiryawan, yang mempunyai pengalaman di beberapa perusahaan consumer goods.

Sementara itu, kantor juga pindah ke lokasi yang lebih layak di Jalan Blora Nomor 3, Jakarta Pusat.

Pada tahun 1977 terjadi lagi penggantian pimpinan karena Jim Wiryawan mengundurkan diri dan diangkatlah Ridwan Hadikusuma, adik dari Slamet Utomo.

Antara 1974 hingga tahun 1977, beberapa kemasan baru diluncurkan sebagai upaya untuk meningkatkan penjualan guna mencapai titik impas.

Tabel 1. Daftar Kemasan AQUA dari masa ke masa



JENIS KEMASAN/PRODUK
Tahun


950 ml
1974

300 ml
1975

5 gallon
1975

1500 ml PVC
1981

625 ML PVC
1982

200 ML DOYPACK
1983

375 ML
1983

ICE CUBE
1983

120 ML
1983

180 ML
1983

Bag in Box 10 liter
1984

1500 ML PET
1985

500 ML PET
1986

360 ML
1985

220 ML
1985

1085 ML
1986

10 LITER
1988

5 LITER
1991

5 GALLON PRIMA / NO SPILL
1994

1500 ML PRIMA
1995

330 ML
1997

380 ML
2000

1 liter
2004

AQUA Splash Fruit 500 ml
2004

Mizone 500 ml
2005


Ketika penjualan mulai meningkat dan kebutuhan untuk melakukan door to door delivery muncul, Willy Sidharta diminta untuk sekalian menanganinya dari pabrik.

Willy membangun sistim delivery door to door yang sederhana tapi efektif dan mampu memberikan layanan yang baik kepada para pelanggan AQUA yang waktu itu kebanyakan orang asing dan kalangan eksklusif. Dari sinilah cikal bakal sistim direct delivery AQUA yang tangguh.

Kelak setelah AQUA maju --- setelah terbentuk bagian penjualan ---- operasional direct delivery ini di serahkan ke bagian penjualan.

Dengan makin bertambahnya pelanggan kemasan 5 gallon, manajemen door to door delivery ini mengalami masalah dan banyak menimbulkan ketidakpuasan pelanggan. Masalah itu memuncak sekitar 1987 ketika banyak pelanggan yang dikirim pertama kali saja dan selanjutnya tidak pernah dikirim lagi.

Tirto Utomo memanggil Willy Sidharta dan menugaskannya untuk membenahi sistim direct delivery ini. Willy segera mengumpulkan semua pihak yang menangani direct delivery dan menemukan bahwa penyebabnya karena tidak ada sistim dan prosedur yang baik dalam manajemen direct delivery tersebut. Akibatnya tidak terjadi komunikasi antara petugas yang satu dengan petugas yang lain.

Dalam hal ini petugas bagian “first delivery” yang bertugas memasang dispenser di pelanggan sekaligus mengirim beberapa botol AQUA 5 Gallon untuk pertama kalinya, tidak memberikan laporan dan data kepada bagian pengiriman rutin.

Pantas saja pelanggan tersebut tidak menerima pengiriman kedua dan seterusnya. Willy segera membuat prosedur berikut formulir yang diperlukan. Segera setelah prosedur tersebut dijalankan maka problem delivery itu hilang.

Namun, akibat peristiwa itu, hubungan Willy dengan bagian penjualan, sempat merenggang. Mereka kurang dapat menerima keputusan Tirto Utomo yang menugaskan Willy yang bukan dari bagian penjualan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tentu saja ada alasan kuat bagi Tirto Utomo untuk menugaskan Willy untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, karena bagian penjualan sudah beberapa kali ditegur tetapi masalah tak kunjung terselesaikan. Kedua, karena Willy dianggap sebagai orang yang membangun sistim direct delivery sejak AQUA berdiri sehingga mengetahui hingga rinci soal prosedur operasional door to door delivery tersebut.

Ada pengalaman Willy lainnya yang perlu dicatat. Sekitar tahun 1977, entah mendapat laporan atau masukan dari mana, Tirto Utomo pernah mencurigai Willy tidak beres dalam bekerja. Begitu santernya berita itu beredar sampai membuat Tirto menarik kendaraan yang digunakan Willy. Merasa mendapat perlakuan tidak adil dan kecewa Willy sempat melamar pekerjaan di perusahaan lain dan hampir saja ia mengundurkan diri.

Memang Willy tipe orang yang blak-blakan, hantam kromo alias straight forward. Ia tidak biasa berbasa-basi atau menjilat kepada atasan. Willy hanya bicara seperlunya dan sangat formal terhadap atasannya. Sedangkan yang lain bisa ikut main golf atau ngobrol sambil ngopi atau berkunjung ke rumah Tirto Utomo.

Tetapi, entah mendapat masukan dari mana lagi, Tirto Utomo akhirnya menyadari bahwa prasangkanya terhadap Willy tidak benar. Pada suatu hari Tirto memanggilnya ke kantornya yang terletak di Jalan Raden Saleh, Jakarta. Dalam hati Willy muncul pikiran : ”Wah, ini dia, pasti saya akan dipecat”

Apa yang dikatakan Tirto Utomo kepada Willy Sidharta dalam pertemuan tersebut? Tirto hanya mengatakan dua kalimat pendek.

Kalimat pertama berbunyi : “Willy, mulai hari ini kamu saya angkat sebagai direktur”

Kalimat kedua ditujukan kepada asisten Tirto yakni Surya Gunardi,”Tjiang, segera atur dokumen yang diperlukan.”

Begitulah Tirto Utomo, ia tidak pernah secara langsung minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Tetapi dari tindakannya seseorang bisa merasakan permintaan maafnya dan sekaligus merupakan apresiasi terhadap semua yang telah dilakukan Willy terhadap perusahaan.

Mendapatkan kepercayaan seperti itu, Willy yang pada dasarnya orang yang sangat idealis, mendedikasikan semua kemampuannya untuk menumbuhkembangkan AQUA, yang bisa dilihat dari semua hasil karyanya selama 33 tahun mengabdi di AQUA.

Sejak saat itu, Willy menjadi salah satu tangan kanan Tirto Utomo, khususnya di bidang operasional sekaligus menjadi “tempat sampah”. Artinya, setiap kali Tirto membutuhkan bantuan atau solusi dan tidak tahu siapa yang disuruhnya, ia pasti minta bantuan kepada Willy. Julukan “tempat sampah” tersebut berasal dari orang-orang di kantor Tirto Utomo sendiri.

Willy yang pada dasarnya “sudi gawe” tentu dengan senang hati membantu dan menyelesaikan semua yang ditugaskan kepadanya dengan baik.***

Sunday, January 7, 2007

KILAS BALIK SANG PROFESIONAL

Keputusannya untuk hijrah ke Jakarta telah mengubah nasibnya dari pemilik toko kelontong kecil di pedesaan Malang menjadi professional hebat di bidang air minum dalam kemasan. Bagaimana kilas balik Willy Sidharta sesungguhnya?


Suatu hari seorang pemuda ditabrak sepeda. Dengan cekatan ia menangkap dan membawa penabraknya ke kantor polisi. Ternyata sepeda itu curian. Pemuda itu tidak lain dan tidak bukan adalah Willy Sidharta.

Ketika itu Willy sedang dalam perjalanan ke sebuah acara sosial di sebuah kelenteng di Pasuruan Jawa Timur. Kebetulan sepeda itu dicuri dari sana. Jadi dalam peristiwa itu kebenaran sekaligus ditegakkan.

Pada kesempatan lain, beberapa tahun kemudian, di Jakarta, Willy ditodong orang di Jalan Thamrin Jakarta. Willy tidak kehilangan serupiah pun, malahan ia berhasil merebut pisau dari penodongnya. Oleh karena itu, jangan coba-coba berbuat jahat kepada Willy Sidharta yang bertubuh ramping dan selalu tampak sederhana itu.

Sejak kecil Willy Sidharta sudah memiliki sifat penolong, rajin, teliti serta penuh dedikasi. Suatu ketika ia bertamasya ke sebuah pemandian. Tiba-tiba tampak seorang anak kecil hanyut di gorong-gorong air. Dengan sigap ia melompat dan menyelamatkan anak tersebut. Rupanya ada seorang anak dari rombongan anak cacat yang terjerumus ke air tanpa ada yang tahu. Untungnya, anak itu masih dapat diselamatkan.
Willy Sidharta lahir di Desa Tumpang, sekitar 25 kilometer sebelah Timur kota Malang, Jawa Timur pada tanggal 10 November 1946. Ia yang memiliki nama asli Ang Hwie Liang merupakan sulung dari 14 bersaudara. Ayah ibunya bernama Ang Thian Poo dan Phoa Giok Kiauw. Sejak lahir ia memang sudah biasa digembleng untuk menghadapi kondisi yang serba sulit.

Pada waktu itu sedang ramai ramainya revolusi, sehingga keluarga orang tuanya harus mengungsi ke dusun yang lebih jauh yaitu Desa Ngadireso. Masa tersebut adalah masa sulit sehingga untuk susu pun sangat sulit diperoleh, dan harus berjalan kaki sejauh lebih dari 30 km ke kota Malang untuk membelinya. Maka ketika si kecil menangis atau lapar, terpaksa diberi nasi lembek yang dibentuk dengan tangan menjadi kepalan sebagai ganti dot susu.

Setelah revolusi mereda, Willy kecil diboyong neneknya ke Malang. Maklumlah, ia merupakan cucu pertama yang paling disayangi. Kelak kemudian hari pamannya __________ yang terkenal amat keras dan disiplin ikut menggembleng dirinya. Demikian keras cara mendidiknya sampai cara berjalanpun perlu diatur oleh sang paman. Kalau kaki agak bergerak menutup saja, Willy segera dipukul dengan gagang kemoceng (ujung bulu kucing pembersih yang biasanya terbuat dari rotan). Tidur siang pun harus tertib dan sudah ditentukan waktunya.

Di masa kecil Willy gemar membaca buku, terutama komik. Ia seringkali membolos tidur. Artinya, ia tetap di kamar dan di tempat tidur tapi di bawah bantalnya pasti ada komik.

Kalau mendengar suara maka Willy akan segera menyembunyikan buku di bawah bantal dan pura-pura tidur. Pada awalnya ia sering ketahuan kalau pura-pura tidur. Apa pasal? Ternyata nafas orang tidur pulas dan berpura-pura tidur itu berbeda. Kalau tidur sungguhan nafas lebih teratur. Setelah mempelajari napas orang tidur dengan cara memperhatikan orang tidur, Willy dapat menirukannya dengan sempurna sehingga jarang ketahuan.

Pamannya juga seorang yang sangat mandiri. Pada waktu itu, sang paman memiliki beberapa mobil yang dioperasikan sebagai angkutan umum yang lazim disebut opelet. Selain itu, sang paman juga membuka bengkel untuk kalangan terbatas. Pelanggannya orang-orang tertentu saja yang sangat peduli terhadap kondisi mobilnya.

Karena pada waktu itu suku cadang kendaraan susah diperoleh. Seringkali suku cadang harus dibuat sendiri. Setelah beranjak dewasa, Willy sering membantu pamannya di bengkel. Begitu pulang sekolah, Willy langsung berganti pakaian bengkel dan ia sudah berada di bawah badan mobil untuk mengutak-atik mesin atau bagian lainnya.

Setiap subuh sekitar pukul empat pagi , Willy pasti sudah berada di garasi untuk memeriksa opelet yang akan dioperasikan para sopir pukul 5 pagi. Ia dengan cermat memeriksa tekanan ban, olie, air karburator serta air aki. Semua dicek dan ditambahkan bila perlu.

Dari sinilah sifat mandiri dan perfeksionis muncul dan terbawa sampai sekarang. Ayahnya berasal dari keluarga pedagang kaya hasil bumi. Namun, karena tidak memperoleh restu untuk menikah dengan ibunya, sang ayah memilih keluar dari keluarga dan memulai usaha sendiri dari nol.

Mula-mula dengan menggelar tikar di pasar, berdagang kain sarung dan barang tekstil lainnya. Usahanya berkembang terus sampai memiliki toko sendiri yang akhirnya menjadi toko kelontong terbesar di desa itu .Selain itu, sang ayah juga mempunyai perusahaan susu dengan memelihara sekitar 40 ekor sapi perah.

Ibunya juga seorang pekerja keras yang ulet. Setiap pagi pukul satu dini hari ia sudah bangun untuk mengawasi pemerahan sapi dan langsung mengemasnya untuk dikirim ke Malang.

Masa Sekolah

Sekolah dari TK sampai SMA semua dijalani Willy Sidharta di kota Malang. Prestasi Willy tergolong biasa-biasa saja tetapi di setiap jenjang sekolah ia selalu mempunyai teman karib yang akrab.

Meskipun tergolong pendiam, Willy bisa menjadi sangat sensitif dan emosional bila sudah tersinggung. Tidak mengherankan bila ia seringkali berkelahi dengan teman atau anak lain yang kadang-kadang mengejeknya sampai melampaui batas kesabarannya.

Karena sejak SMP dan SMA, Willy bersekolah di sekolahan khusus laki-laki, maka kesempatan untuk berpacaran tidak banyak. Meskipun ada banyak teman wanita dari pergaulan dengan kelompok teman-temannya.

Meskipun Willy mengikuti kegiatan kepanduan (yang lazim disebut Pramuka sekarang), ia tidak terlalu banyak memiliki kegiatan organisasi. Kegiatan berorganisasi baru mencuat ketika Willy pada tahun 1965 memasuki perguruan tinggi di Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya di kota Pasuruan, Jawa Timur.

Ketika itu, situasi bertepatan dengan peristiwa G30S. Kota Pasuruan termasuk salah satu wilayah yang dianggap sebagai basis PKI sehingga aktivitas untuk menggayang antek PKI sering terjadi di sini. Melihat mayat di bergelimpangan di sungai atau lokasi-lokasi lainnya sudah menjadi pemandangan biasa pada waktu itu.

Aktifitas Willy pada waktu itu sangat luas, mulai dari kegiatan mahasiswa, pemuda, kebudayaan sampai kegiatan di Partai Katholik pun digelutinya. Bahkan, pada suatu saat, Willy merangkap hingga 16 jabatan. Pada waktu itu, kegiatannya berlangsung dari pagi hingga menjelang pagi esok harinya. Itu berarti tidur hanya dilakukan sekitar 4-5 jam saja setiap hari. Bahkan, rekor yang dipegangnya adalah selama 126 jam (hampir selama 5 hari) tidak tidur sama sekali. Beberapa temannya sempat kuatir sehingga kemudian mencampur kopi yang diminum Willy dengan whisky sehingga ia langsung tertidur.

Akibat terlalu banyak kegiatan, Willy akhirnya tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik sehingga harus pindah ke Fakultas Sipil Universitas Atma Jaya di kota Malang pada akhir 1967. Namun, karena kurang cocok akhirnya Willy memutuskan untuk berhenti kuliah akhir 1968.

Keputusan itu tidak pernah disesalinya seumur hidup. Apalagi dua tahun sejak itu Universitas Atma Jaya di Malang ditutup yang disusul pula Fakultas Tehnik Mesin di Pasuruan.

Namun, satu hal yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, di kota Pasuruan itulah Willy menemukan pasangan hidupnya yang sangat serasi dan selalu mendukungnya selama 24 tahun. Namanya, Catharina Maria Martha Dewi.

Perkawinan mereka dilangsungkan pada Desember 1968. Keduanya dikaruniai dua orang putri yakni Fransiska Sidharta yang lahir pada tahun 1972 dan Yovita Sidharta yang lahir pada tahun 1976.

Membantu Usaha Keluarga dan Membuka Toko

Setelah berhenti kuliah tahun 1968, Willy kembali ke rumah orang tuanya di Tumpang dan membantu usaha susu yang sangat sederhana. Ia kembali dan mengurusi pengiriman susu ini ke Malang ke para agen yang selanjutnya mendistribusikan langsung ke pelanggan.

Setelah berlangsung selama setahun, Willy memisahkan diri dan mengontrak rumah tak jauh dari rumah orang tuanya sekalipun masih membantu usaha susu orang tuanya. Willy kemudian mulai membuka usaha sendiri berupa sebuah toko kecil yang dimulai dari modal pinjaman, yang akhirnya menjadi cukup besar.

Willy bangun pukul tiga dini hari dan sekitar pulul empat ia sudah berangkat ke Malang menggunakan mobil pikap untuk mengangkut susu. Sekembalinya Willy mengangkut para pedagang yang hendak berdagang ke pasar Tumpang sebab mobilnya termasuk salah satu kendaraan yang paling pagi tiba di pasar. Selain itu, kendaraan pikap membuat para pedagang lebih mudah mengangkut barangnya.

Begitu tiba kembali ke rumah, Willy langsung membuka toko dan sementara dia mandi, toko dijaga oleh isterinya. Siang hari Willy melakukan kegiatan yang sama, mengantar susu batch tengah hari sekitar pukul satu siang.

Melalui kebiasan kerjanya sehari-hari itu, Willy Sidharta menjadi terbiasa tidur selama 4 atau 6 jam saja dalam sehari. Tokonya baru tutup sekitar jam sembilan atau sepuluh malam.

Pulang dari mengantar susu pada siang hari, Willy sering membawa barang dagangan untuk dijual di tokonya yang dibeli dari langganan grosir di Malang. Tokonya pada waktu itu juga menjadi agen roti Bima yang pada masa itu menjadi salah satu roti favorit di Tumpang.

Pada tahun akhir tahun 1972, Willy dan isterinya berkunjung ke Jakarta, antara lain bertemu dengan teman karibnya semasa kuliah di Pasuruan bernama ____________ , yang mengajaknya untuk bergabung bekerja di Nissin Buskuit.

Sekembalinya dari Jakarta Willy berunding dengan isterinya. Mereka akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dengan keyakinan bahwa di Jakarta mereka bisa lebih berkembang. Pada dasarnya Willy sudah sangat bosan dengan apa yang digelutinya saat itu yang dianggapnya statis.

Bulan April 1973, Willy dan keluarga pindah ke Jakarta dan untuk sementara menumpang di rumah mertuanya yakni Bapak ____________ yang saat itu diminta menjaga rumah kosong yang kebetulan milik mertua Tirto Utomo.

Sesampainya di Jakarta, Willy bekerja di Nissin Biskuit sebagai Penyelia (supervisor) di bagian pengemasan.

Baru beberapa minggu bekerja, Willy ditawari untuk membantu Slamet Utomo, ipar dari Tirto Utomo, yang hendak mulai mendirikan bisnis air mineral. Pada waktu istilah air minum dalam kemasan (AMDK) lebih dikenal dengan sebutan air mineral.

Karena Willy lebih senang dengan sesuatu yang menantang, maka ia segera menyambut tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa pekerjaan di Nissin akan lebih monoton dan kurang menantang. Menurut Willy memulai sesuatu yang baru lebih banyak dinamikanya.

Pertimbangan lain, organisasi di Nissin sudah tersusun dengan rapi sehingga akan lebih sulit untuk meraih posisi yang lebih tinggi. Sedangkan di AQUA, sebagai organisasi baru akan lebih mudah karena masih banyak posisi yang kosong. Ini sesuai dengan karakter Willy yang mempunyai ambisi yang tinggi serta semangat yang menyala nyala.

Menurut Willy sebagai manusia yang ingin maju, seseorang harus punya ambisi. Dalam arti positif, ambisi dapat diterjemahkan sebagai dream karena segala sesuatu berawal dari sebuah impian. “Selanjutnya, kita harus berjuang dan bekerja keras untuk bisa mencapai impian tersebut, “ ujarnya dengan penuh rasa percaya diri. ***

MENGATASI GANGGUAN AIR MINUM ISI ULANG

Pangsa pasar AQUA sempat terganggu dengan munculnya fenomena air minum isi ulang. Bagaimana Willy Sidharta mengatasi masalah yang cukup pelik tersebut?


Air Minum Isi Ulang (AMIU) mulai berkembang pada 1998. Di negara Paman Sam, AMIU dinamakan Water Refill Station. Pengoperasiannya secara otomatis dan biasa ditempatkan di depan pasar swalayan. Bentuknya semacam almari kaca yang di dalamnya dapat ditaruh botol gallon ukuran 5 liter atau 19 liter . Setelah koin dimasukkan maka air akan mengisi sendiri. Umumnya air hasil olahannya berupa reverse osmosis (RO) atau sejenis dengan air suling yang tidak mengandung mineral. Tetapi, saat ini di pasaran sudah tersedia AMIU yang menghasilkan air mineral.

Di Indonesia AMIU dipelopori Slamet Utomo. Ia sebenarnya merupakan salah satu pendiri AQUA. Namun, ketika Danone hendak masuk Slamet Utomo memutuskan untuk mendirikan perusahaan air minum isi ulang di bawah bendera PT Slamet Tirta Sembada. Merek dagangnya Agura. “Nama itu kemungkinan diambilnya dari nama AGORA karena dia pernah tinggal di Kalifornia, AS cukup lama,” duga Willy Sidharta.

Sebetulnya depot isi ulang pada waktu itu tidak terlalu berkembang. Beberapa pemain AMIU yang tergolong besar lainnya adalah Amira, Vinaqua dan AG21. AMIRA dirintis Budi Darmawan mantan karyawan PT Astra International bersama dua rekannya Gunawan dan Faisal.

Pada awalnya kemunculan AMIU sangat menggoda. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran harga air minum isi ulang yang sangat murah dibandingkan AMDK? Kemasan ukuran botol 5 galon hanya dijual dengan harga Rp 2.500 – Rp 3.000 sementara AMDK dibanderol Rp 5.000 hingga Rp 9.000. Jika konsumen yakin akan kualitasnya maka tidak ada keraguan lagi menggunakan air minum isi ulang sebagai air minum.

Seorang konsumen mengaku beralih ke AMIU karena harganya sangat terjangkau. “Memperolehnya juga mudah. Tinggal telepon ke depot AMIU yang dipesan segera sampai di rumah,” ia mengungkapkan. Hanya saja, sejauh ini ia belum memanfaatkannya sebagai air minum melainkan untuk memasak.

Kemampuan AMIU masuk ke permukiman melalui depot-depotnya --- antara lain dikembangkan dengan system waralaba --- yang tumbuh pesat, tak pelak lagi, membuat pemain di bisnis AMDK merasa gerah. Asosiasi Pengusaha Depot Air Indonesia (Aspadin) yang bermarkas di Jawa Timur mencatat pertumbuhan depot AMIU yang luar biasa pada 2002 dan 2003.

Dalam pertemuan dengan Aspadin 3 Juli 2002 di Hotel Borobudur, Jakarta yang dipermasalahkan para pemain AMDK bukan penetrasi pasar AMIU yang cukup cepat melainkan tidak adanya aturan main yang jelas. Willy Sidharta selaku Ketua Aspadin berpendapat bahwa keberadaan depot AMIU yang tidak terkendali dan tanpa pengawasan serta seenaknya melanggar etika bisnis sangat mengganggu industri AMDK.

Bagi Willy kehadiran AMIU sebenarnya fenomena bisnis normal dan biasa sebagaimana terjadi di AS, Filipina, Turkli maupun Negara lain. Masalahnya, di Indonesia belum ada peraturan tentang keberadaan depot isi ulang sehingga tidak ada pengawasan dan control yang jelas. “Kehadiran depot isi ulang menimbulkan persaingan yang tidak fair. Sebab, para pemain yang bergerak di industri AMDK punya kewajiban memenuhi berbagai standar dengan segalan dampaknya terhadap biaya. Sementara itu, di pihak lain, depot isi ulang menangguk untung besar tanpa ada kewajiban memenuhi persyaratan dan peraturan, termasuk jaminan terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen.

Harga AMIU yang sangat miring memang bisa menjadia ncaman serius bagi pemain AMDK. Namun, menurut Slamet Utomo pengelola merek Agura dibawah PT Slamet Tirta Sembada, harga AMIU dapat murah karena rtidak memerlukan biaya pengemasan, distribusi dan bongkar muat sebagaimana dilakukan perusahaan AMDK. Biaya produksi AMIU setiap botol 5 galon sebesar Rp 1.000. Bila dijual Rp 2.500 berarti keuntungan sebesar Rp 1.500 per kemasan 5 galon.

Penyebaran depot air minum isi ulang tersebut melalui dua cara : beli putus dan system waralaba. Pemain-pemain besar umumnya memilih waralaba sehingga pertumbuhannya dapat lebih cepat. Beberapa pemain AMIU yang tergolong besar antara lain Agura, Amira, Vinaqua dan AG12. Pada tahun 2002 Agura mammpu menjual 3000 galon per hari, Amira 2500, AG21 2000 dan Vinaqua 1500. Total pada 2002 seluruh industri AMIU mampu menjual rata-rata 15.000 botol ukuran 5 galon per hari. Agura menguasai 17 %, disusul Amira (15%), AG21(11%) dan Vinaqua (6%).

Agura sebagai perintis AMIU sejak 1998 hingga tahun 2002 telah memiliki 20 depot. Untuk mengembangkan pasar perusahaan ini memilih bekerjasama dengan pihak lain. Caranya, investor menyediakan tempat dan menyediakan biaya desainnya sedangkan peralatan dipasok Agura. Modal yang dibutuhkan sekitar Rp 60 juta dengan catatan investor mendapatkan 40% penjualan setiap bulan. Sementara Vinaqua menetapkan pewaraba harus membayar fee waralaba Rp 80 juta ke PT Hamaro, pengelola Vinaqua. Kini di Koran-koran banyakj yang menawakan paket mesin pengolah air minum isi ulang dengan harga Rp 36 juta bahkan lebih murah lagi.

Willy mengakui sejak 1998 pihaknya sudah was was dengan kehadiran depot AMIU. Hal itu pun sudeah disampaikan ke Departemen Perindustrian tetapi belum memperoleh tanggapan yang memuaskan.

Gerahnya Aspadin terhadap depot MIU wajar. Willy sebagai Ketua Aspadin menjelaskan, tahun 2003, mereka memproyeksikan pertumbuhan penjualan perusahaan AMDK mencapai 20%. Hal itu berdasarkan kenyataan pertumbuhan 2001-2002 yang mencapai 25%-30%. Namun, proyeksi tadi ternyata tidak terealisasikan sebab tiga bulan pertama tahun 2003 pertumbuhan penjualan perusahaan AMDK mencatat angka nihil. Bahkan, beberapa diantaranya sudah minus.

Willy mengungkapkan pertumbuhan depot AMIU memang luar biasa. Tahun 2003, jumlah depot AMIU mencapai 3 ribu padahal pada 2002 hanya 700 depot. Khusus Jabotabek sampai April 2003 sudah mencapai 1700 depot. Sudah begitu di Bandung dan Surabaya hamper 25 % botol kemasan 5 galon tidak kembali ke pengusaha Aspadin karena kemudian di isi ulang ke depot AMIU.

Mengapa tiba-tiba pada tahun 2003 depot AMIU meledak?

Menurut Willy Sidharta hal itu terjadi karena AQUA melakukan kesalahan dalam penetapan harga. Waktu itu harga dinaikkan 5 % tetapi 3 bulan kemudian harga dinaikkan lagi dengan anggapan bahwa merek AQUA cukup kuat untuk mendukung peningkatan harga. Memang cukup kuat. Asalkan alasan kenaikan harga cukup kuta bagi konsumen maka konsumen dapat menerima. Kemudian naik 5 % lagi yang menimbulkan perdebatan di manajemen bahwa AQUA semena-mena dalam menaikkan harga. “Kenaikan harga tersebut menyebabkan konsumen kecewa karena tidak ada pemicunya kok tiba-tiba harga naik, “ ia mengungkapkan.

Kalau yang pertama konsumen maklum karena ada kenaikan BBM. Sebetulnya pada waktu pertama kalau mau naik 10% pun pati tidak apa-apa. Tetapi karena AQUA naik dua kali itu membuat konsumen marah dan kecewa, merasa dipermainkan, merasa AQUA sewenang-wenang sehingga akhirnya mereka banyak yang pindah ke depot isi ulang. Keputusan kenaikan harga kedua itu banyak yang tidak setuju terutama dari kalangan tenaga penjual yang merupakan orang lapangan yang paling tahu bagaimana meng-handle konsumen. Bagaimana suara konsumen dan bagaimana persepsi konsumen sehingga sebenarnya mereka menolak keras. Sehingga meski keputusan diambil secara tidak bulat akhirnya dilaksanakan juga. Akibatnya memicu eksodus konsumen dari Danone AQUA ke isi ulang.

Momentum itu dimanfaatkan dengan baik oleh depot-depot isi ulang yang menjual air dalam kemasan 5 galon antara Rp 2.500 hingga Rp 3000 dibandingkan AQUA yang Rp 8000-Rp 9000. Dalam tahun 2003 terjadi peningkat jumlah depot isi ulang menjadi lebih dari 4000 unit.

Tahun 2004 AQUA melakukan kampanye dan lobi dengan pemerintah sehingga dikeluarkan peraturan-peraturan yang bisa meregulasi depot isi ulang dan AMDK. Tetapi toh itu tidak efektif. Yang efektif adalah kampanye dari Aspadin pada waktu itu. Jangan mengisi botol kemasan AQUA di tempat isi ulang. Sebetulnya pada waktu itu sempat terjadi mereka mermakai botol polos tetapi setelah cooling down mereka memakai botol AQUA lagi.

Pada 2004 sudah terjadi keseimbangan dan segmentasi yang jelas. Jadi konsumen AMDK punya segmen sendiri dan depot isi ulang punya segmen pasar sendiri.

Setelah menuai pertumbuhan pesat tahun 2003 dengan menguasi pangsa pasar hingga 30 % di segmen botol 5 galon pada akhir tahun 2004 jumlah menciut tinggal 24 % saja. Kemudian pada 2005 jumlah produk air minum isi ulang yang bisa dijual para pedagangnya makin menyusut lagi. Daya tarik harga yang murah dibandingkan air minum dalam kemasan (AMDK) serta jarak yang dekat dengan perkampungan serta kompleks perumahan, termasuk fasilitas pengiriman gratis ternyata tak bisa dijadikan jurus ampuh merengkuh pembeli lagi.

Dari total produksi air minum sebanyak 9 miliar liter pada tahun 2004 air minum isi ulang yang dijual dengan harga Rp 2.500 –Rp 3.000 per 5 galon hanya mampu menyumbang 1,4 miliar liter. Akibatnya, sejumlah depo atau gerai air minum isi ulang pun tutup.

Menurut Willy Sidharta, penurunan permintaan air minum isi ulang disebabkan konsumen berpindah kembali membeli air minum AMDK yang lebih terjamin kualitasnya dan selalu dalam keadaan tersegel. “Setelah merasakan sendiri, banyak konsumen air minum isi ulang yang pindah ke AMDK,” ujarnya.

Kecenderungan kembalinya konsumen kepada AMDK tersebut tentu sangat menyenangkan bagi produsen AMDK karena bisnisnya bakal semarak lagi. Bisnis AQUA pada 2003 ketika air minum isi ulang mengalami masa keemasan hanya mengalami pertumbuhan 2 %. “Bahkan untuk kemasan 5 galon pertumbuhannya minus 4 persen,” tutur Willy Sidharta.

Sejak Desember 2004 berlaku Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya. Sesuai SK Menteri itu usaha depo air air minum diatur dengan syarat yang lebih jelas. Diantaranya wajib memiliki tanda daftar industri (TDI) dan tanda daftar usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). Selain itu, pengusaha depo air isi ulang harus memiliki surat jaminan pasok air baku --- air yang belum diproses atau sudah diproses menjadi air minum --- dari PDAM atau perusahaan yang punya izin pengambilan air dari instansi yang berwenang.

Dengan aturan seperti itu maka tidak semua orang dapat membuka usaha air minum isi ulang dengan biaya yang murah lagi

Sementara itu selain AMIU di masa depan industri AMDK juga harus mewaspadai ancaman POU (Point of Use Filter). Dinamakan begitu karena masyarakat meletakkan filternya di kitchen sink dan tinggal membuka kran saja. Di pasaran POU sudah tersedia dalam berbagi merek antara lain Yamaha, Sharp dan Lux. ***

Wednesday, December 20, 2006

MERAIH ANGKA PENJUALAN 5 MILIAR LITER PER TAHUN

Setelah sukses menjadikan AQUA sebagai merek tunggal dengan volume penjualan tertinggi di dunia pada 2001, maka tantangan berikutnya adalah meraih penjualan 5 miliar liter per tahun pada 2005. Berhasilkah dia meraihnya?


Selama 1998 sampai 2000 Willy Sidharta melakukan banyak terobosan untuk melakukan change management. Selain membentuk AQUA LEADERS FORUM dan menyusun AQUA Core Values sekali lagi Willy Sidharta menetapkan VISI AQUA 2005 pada bulan Juli 1999 . Kali ini visi ditujukan untuk meraih angka penjualan 5 miliar liter pada tahun 2005.

Pada tahun 2000, volume penjualan AQUA sudah melampaui EVIAN dan menjadi yang tertinggi dalam hal volume penjualan di lingkungan Grup Danone. Pada tahun 2001 AQUA berhasil meraih prestasi sebagai merek tunggal dengan volume penjualan tertinggi di dunia yakni sebesar 2,35 miliar liter dibandingkan pesaing terdekat ELEKTROPURA dari Meksiko dengan jumlah 1.9 miliar liter.

Visi tersebut seharusnya dapat tercapai pada 2005 seandainya Willy Sidharta tidak melakukan kesalahan dalam hal penetapan harga pada tahun 2003. Saat itu karena dinilai mahal pasar AQUA sempat digerogoti depot air minum isi ulang (AMIU) hingga 30 %. Volume penjualan AQUA pada 2005 hanya tercapai 4,7 miliar liter.

Willy juga aktif memberikan semangat kepada tim manjemen AQUA aqar tetap dapat memenangkan pasar. Resepnya menurut Willy ada lima. Pertama, produk AQUA harus ada di mana-mana (available). Kedua, konsumen mau membeli AQUA (acceptable). Ketiga, harga AQUA terjangkau konsumen (affordable). Keempat, AQUA mengerti kebutuhan konsumen (accessible) dan terakhir. AQUA secara proaktif menekan pasar (aggressive).

Bagaimana agar dapat lebih agresif lagi melakukan dominasi pasar? Willy mempertajam lagi dengan jurus 3A untuk meraih 3P.

Apa saja 3A dan 3P itu? A yang pertama adalah Available untuk meraih Pervasive Penetration. Maksudnya, bahwa produk tersebut harus dapatr ditemukan pada tempat dan waktu yang tepat. Oleh karena itu, produk harus ditempatkan pada fast moving outlet dan high image outlet sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen kapan dan di mana pun.

A yang kedua adalah Acceptable untuk meraih Preference. Jadi produk harus dapat menjadi “pilihan” konsumen (consumer choice) bukan sekadar “keinginan” konsumen saja. Syaratnya tentu saja produk itu harus benar dan memiliki positioning yang tepat pula.

Sedangkan, A yang terakhir Affordable untuk meraih Price to value. Artinya, produk itu harus memiliki harga yang sesuai dengan nilai pengharapan yang ada di benak konsumen. Caranya dengan melakukan positioning, komunikasi dan pemberian nilai tambah melalui inovasi produk.

Adapun kunci suksesnya ditentukan faktor produksi, distribusi, pamasaran, SDM dan keuangan. Dalam hal produksi, produsen harus dapat menyediakan produk yang diinginkan konsumen melalui inovasi produk baru serta peningkatan kualitas yang memuaskan konsumen.

Dalam hal distribusi produk harus dapat dijumpai di mana saja dan kapan saja. Sementara dalam hal pemasaran produk harus tampil atraktif agar menarik minat konsumen untuk membeli.Caranya melalui komunikasi dan positioning yang tepat serta penyediaan basis data yang lengkap.

Sedangkan, di bidang sumber daya manusia maka harus dibangun tim kerja yang memiliki pengetahuan luas melalui rekrutmen yang bagus dan didukung pelatihan, motivasi dan pembinaan budaya. Sedangkan di bagian akhir, bidang keuangan berfungsi sebagai penyedia sumber dana, pengawasan dan manajemen informasi.

Bila Willy aktif menghembuskan angin perubahan di lingkungan perusahaan maka di sisi lain Danone pun ternyata juga berubah. Danone berubah dari perusahaan publik yang semula masih masih dikelola sebagaimana perusahan keluarga makin lama menjadi besar sehingga akhirnya menjadi perusahaan multinasional yang mengandalkan profesionalisme dalam manajemen. Hal itu terjadi karena orang-orang lama di Danone yang semula menduduki posisi manajemen senior satu per satu sudah memasuki masa pensiun atau meninggalkan perusahaan sehingga banyak orang-orang baru yang masuk. Hal itu memicu terjadinya perubahan budaya perusahaan. Kondisi tersebut ikut berpengaruh pada anak perusahaannya termasuk AQUA di Indonesia.

Pada tahun 2000, AQUA bermaksud melakukan ekspansi yang kebutuhan dananya mencapai sekitar Rp 500 miliar. Menurut keterangan John Abdi, TIV selaku holding company kemudian menanyakan kepada pihak keluarga Tirto Utomo apakah akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Ternyata pihak keluarga memutuskan untuk tidak ikut sehingga akhirnya disepakati pihak Danone yang membiayai ekspansi tersebut dengan imbalan saham. Kepemilikan Danone pun meningkat dari 40 persen menjadi 74 persen melalui perusahaan holding PT Tirta Investama. Sementara saham pihak keluarga AQUA mengalami delusi sehingga tinggal 23 persen saja. Sejak itu terjadilah perubahan manajemen besar di AQUA karena Danone yang juga produsen AMDK dunia dengan merek Evian, Volvic dan Ferarelie akhirnya tampil sebagai pemegang saham mayoritas.

Bagi Willy akuisisi AQUA oleh Danone merupakan hal wajar. Ia menyadari, kinerja saham AQUA tidak lagi likuid di lantai bursa. Volume transaksi rata-rata harian AQUA anjlok dari sekitar 1,5 juta lembar saham dengan sekitar 320 kali transaksi pada 1998, menjadi hanya sekitar 50.000 lembar saham, atau 52 transaksi pada periode Januari - Juli 2001.

AQUA, agaknya, merupakan salah contoh perusahaan lokal yang mayoritas sahamnya dibeli asing. Willy pun tak merasa kehilangan orientasi dengan pergeseran manajemen di tubuh perusahaannya.

Tentu saja ada yang berubah. Sehari-hari Willy Sidharta memang masih Presiden Direktur PT AQUA Golden Mississippi, Tbk (AGM) dan VP Industri PT Tirta Investama (TIV) tetapi ia bukan lagi pengambil keputusan tertinggi di AQUA. Willy tidak bisa lagi seenaknya melakukan kegiatan resmi yang terkait dengan bisnis AMDK tanpa seizin pihak Danone.”Setiap kegiatan bisnis saya mesti minta approval dulu ke Chairman Danone,” katanya.

Demikian pula jika sebelumnya Willy dapat menyusun sendiri pengeluaran untuk kegiatan bisnisnya --- seperti kebutuhan main golf --- kini ia harus acountable yakni membuat anggaran untuk diajukan kepada chairman. Ia tidak bisa menolak, misalnya, ketika pihak Danone meminta agar setiap label botol AQUA dicantumkan merek Danone.

AQUA di tangan Danone memang sudah mengalami perubahan. Suka atau tidak wewenang Willy Sidaharta sudah tidak sebebas dulu lagi meski prestasinya dan visinya telah membawa AQUA sebagai merek AMDK terdepan di Indonsia.***

`

Tuesday, December 19, 2006

KETIKA ALIANSI STRATEGIS DENGAN DANONE TERWUJUD

Aliansi strategis akhirnya menjadi pilihan terbaik bagi masa depan AQUA. Danone pun diuntungkan daripada harus membangun merek sendiri yang penuh risiko di Indonesia.


Di tengah kesulitan keuangan yang membelenggu PT AQUA Golden Mississippi, Tbk (AGM) datang pinangan dari Grup Danone, perusahaan air mineral terbesar kedua di dunia yang bermarkas besar di Perancis.

Lewat Danone Asia, kelompok tersebut akhirnya membelli 40 persen saham PT Tirta Investama (TIV) perusahaan holding yang menaungi PT AQUA Golden Mississippi, Tbk , senilai US$ 32 juta (sekitar Rp 420 miliar dengan kurs Rp 13 ribu pada Juni 1998, saat merealisasikan pembelian saham tersebut). Berdasarkan Direktori Pasar Modal Indonesia 1997, TI menguasai 33,5% saham AGM. Artinya, lewat pembelian tersebut Danone ikut memiliki 13,4 % saham AGM.

Bagi Grup AQUA aliansi strategis tersebut benar-benar bagai durian runtuh. Di tengah kesulitan arus kas, dana segar yang dikucurkan Danone sangat membantu kinerja keuangan sekaligus menutup kewajiban-kewajiban. Pada laporan keuangan per 31 Desember 1998, misalnya, terlihat utang jangka pendeknya menjadi nihil dan utang usaha kepada pihak ketiga menyusut dari Rp 11,27 miliar pada 1997 menjadi Rp 7,43 miliar pada 1998.

Utang bank pun mengecil dari Rp 2,34 miliar menjadi Rp 19,95 juta. Dengan posisi keuangan seperti itu langkah PT AGM menjadi lebih ringan. Tidak mengherankan bila laba bersihnya melonjak dari Rp 7,77 miliar menjadi Rp 18,91 miliar atau meningkat 143 % . Nisbah antara pendapatan dan asset langsung melejit dua kali lebih dari 5,08 % menjadi 10,78 %.

Posisi keuangan AQUA menjadi lebih baik karena pemegang saham sepakat untuk tidak membagikan deviden. Saldo labanya meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 19,31 miliar menjadi Rp 38,21 miliar,

Berkat aliansi tersebut, citra AGM ikut terdongkrak. Di Industri AMDK, Danone menempati peringkat nomor dua di dunia, di bawah Nestle. Rentang produk dan merek yang dimiliki Danoen sangat lengkap: Evian (menguasai 9% pangsa pasar dunia dengan 1,4 miliar liter pada 1997), Volvic, Danone (di AS namanya menjadi Dannon), Badoit, Ferrarele, Boario, Santagata, Natia dan sebagainya.

Grup Danone sangat agresif mengembangkan pasarnya di Asia dan dikenal selalu memilih merek-merek yang sudah punya reputasi di pasar lokal. “Kami tidak ingin mempertaruhkan nama dengan membeli perusahaan tak berkualitas,” demikian jawab Michel Sardine, Vice President Danone Asia yang ditempatkan di TIV ketika ditanya wartawan SWA.

Lewat aliansi ini, AQUA bisa memanfaatkan jaringan pemasaran maupun teknologi yang dimiliki Grup Danone untuk memperkuat penetrasinya ke pasar regional.

Kenyataannya setelah aliansi strategis itu, penjualan AQUA melonjak. Setelah mengalami kemunduran 6 % pada 1998, AQUA bangkit kembali setahun kemudian dengan tingkat volume produksi yang tumbuh hingga 17 %, dan pada 2002 angka itu telah naik tiga kali lipat. Semua itu berkat aliansi strategis yang dijalin dengan Danone.

Bisnis inti Danone sebenarnya meliputi tiga bidang : biskuit, minuman (AMDK dan bir) dan produk dari susu ( dairy : susu, yogurt, keju, es krim dan jus). Di bawah pimpinan anak bungsu Antoine Riboud yakni Franck Riboud --- kini berumur setengah abad --- Danone maju pesat sebagai perusahaan kelas dunia.

Franck Riboud tidak puas bila Danone hanya meraih posisi sebagai perusahaan nomor 7 dalam kategori industrinya dengan nilai pasar sebesar US$ 15,8 miliar pada 1999. Apalagi, selama masa tersebut hampir 76% pendapatan Danone masioh berasal dari Eropa, dengan Perancis menyumbang 39 % di antaranya

Agar menjadi perusahaan kelas dunia sejati maka Franck Ribout berpendapat perusahaan harus fokus ke bisnis inti dan tidak harus mengandalkan pasar Eropa saja. Demi ambisinya itu, Franck melego bisnis non inti senilai US$ 1, 2 miliar. Dana yang diperoleh digunakan untuk memborong perusahaan yang berkaitan dengan bisnis inti di AS, Asia dan Amerika Latin.

Masuk ke pasar AS bukanlah hal mudah karena pasar tersebut sudah dikuasai Nestle, RJR Nabisco, Coca-Cola dan Unilever sejak lama. Pasar AS juga sudah mulai jenuh. Maka peluang untuk investasi lebih terbuka di pasar Asia dan Amerika Latin. Meski Nestle dan Unilever sudah memiliki pangsa pasar masing-masing sekitar 15 % namun pasarnya masih luas dan terus berkembang.

Pada tahun 2000 dengan strategi baru tersebut pasar Danone di laur Eropa berhasil meningkat menjadi 33 %. Angka itu cukup besar mengingat pada waktu Franck Ribout bergabung dengan Danone kontribusi pasar di luar Eropa hanya 5 %.

Pengembangan AMDK tampaknya mendapat perhatian khusus. Di industri ini Danone menempati peringkat kedua dunia di bawah Nestle. Grup Danone juga memiliki rentang produk dan merek AMDK yang amat lengkap mulai deatri Evian (menguasai 9 % pangsa pasar dunia dengan volume 1,4 miliar liter pada 1997), Volvic, Danone (Dannon di AS), Badoit, Ferrarelle, Boario, Santaga, Natia dan sebagainya.

Di AS, Danone membelanjakan US$ 112 juta untuk membeli saham Aquapenn. Melalui perusahaan tersebut Franck memproduksi Dannon Water yang dijualnya srharga US$ 0,89 (kemasan 1,5 liter) sementara Evian untuk ukuran yang sama dihargai lebih mahal yakni US$ 1,89.

Perang harga tersebut dijawab penguasa pasar Coca Cola dan Pepsi Co. Coca-Cola meluncurkan AMDK bermerk Dasani. Sementara, Pepsi sudah sejak lama memperkenalkan Aquafina --- sebagai purified water --- di jaringan pasar swalayan dan pompa bensin.

Meski Dannon Water mampu bertahan di pasar AS tak ayal Danone mengalami kerugian hingga US$ 17,8 juta sebagai akibat ketatnya persaingan yang membuat tipisnya margin keuntungan yang diperoleh.

Di Indonesia, Danone berpikir lebih praktis, daripada repot membangun merek baru yang memiliki risiko kegagalan seperti dialami Coca-Cola dengan merek Bonaqa, maka perusahaan ini lebih suka meminang merek-merek AMDK yang telah memiliki reputasi bagus. Tak salah bila pilihan Danone lalu jatuh kepada AQUA. Sementara di RRC, Danone Asia membeli 60% saham Health, perusahaan air mineral setempat seharga US$ 18 juta.

Bila sudah menjalin aliansi strategis, apakah berarti semuanya berjalan mulus? Ternyata tidak. Mulai November 1997, muncul pesaing baru yang bermain segmen pasar premium yakni Equil dengan mematok harga Rp 20 ribu untuk kemasan botol 380 ml. Penyebarannya sangat terbatas, hanay di tempat-tempat eksklusif seperti hotel berbintang, klub golf, kafge atau pasar swalayan tertentu.

Meski Equil tidak secara langsung mengikis pangsa pasar AQUA yang bermain di kelas lebih bawah. Namun produk tersebut sangat mengganggu pasar produk bersama AQUA dan Danone yakni Evian dan Volvic yang dipasarkan Grup AQUA. Apalagi harga yang dipatok Equil lebih rendah dari harga yang dipatok Evian yang dihargai lebih dari Rp 20 ribu. Sementara kemasannya tampak jauh lebih mewah mengikuti desain botol anggur dan terkesan produk impor. Harga Equil berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu per botol ukuran 330 ml.

Morgen sengaja membuat desain botol mewah serta desain gambar menarik yang menyimbol kehidupan dan alam seperti matahari, air, daun dan wanita. Terlebih, pada kemasannya dicantumkan kata-kata Bottled at source at villa D’ equilibrium yang seolah-olah sebuah lokasi di luar negeri. Willy Sidharta menganggap kalimat tersebut menyesatkan karena vila yang dimaksud sesungguhnya berada di areal seluas 3 hektar di Cimelati, Sukabumi bukan di luar negeri. Hal itu berbeda dengan AQUA yang menyebut produknya dengan jujur yakni berasal dari air sumber pegunungan (mountain spring water).

Namun, strategi pemasaran yang ditempuh Equil memang cerdik karena mampu menerobos dinding istana serta memasok acara-acara khusus seperti konferensi OPEC sehingga citranya semakin melambung.

Hasilnya dalam tempo setahun saja Equil berhasil menguasai 80% pangsa pasar di kelas super premium. Pasar di kelas ini lumayan besar karena dapat mencapaiu US$ 500 ribu per tahun.

Dari sekitar 100 hotel berbintang 4 dan 5 yang ada di Indonesia, hanya beberapa gelintir saja yang belum menyediakan Equil karena masih terikat kontrak dengan Evian atau Perrier. ***

BELAJAR PERUBAHAN DARI DUA PERUSAHAAN TERNAMA DUNIA

Lewat AQUA LEADERS FORUM, Willy Sidharta berupaya memotivasii karyawannya untuk siap berubah. Studi kasus NOKIA dan LEVI’S STRAUSS disampaikannya sebagai model perubahan perusahaan. Berhasilkah Willy?

Pada kesempatan awal memperkenalkan AQUA LEADERS FORUM pada 1998, Willy Sidharta menyampaikan dua buah studi kasus yang berintikan pada perubahan.

Kasusnya menyangkut Nokia dan Levi’s Strauss. Keduanya sengaja ditampilkan untuk mempersiapkan manajemen AQUA dengan perubahan sehubungan dengan rencana aliansi strategis dengan Danone.

Studi Kasus NOKIA

Akar Nokia berasal dari sebuah perusahaan papermill di Finlandia Barat Daya yang didirikan Fredrik Idestam pada tahun 1865. Tak jauh dari tempat itu pada 1898 berdiri perusahaan Finnish Rubber Works Ltd. dan kemudian pada 1912 beroperasi Finnish Cable Works. Pada tahun 1967 ketiga perusahaan tersebut merger membentuk Nokia Corporation. Markas besar Nokia terletak di Keilaniemi, Espoo, Finlandia.

Pada 1970-an Nokia terlibat dalam industri telekomunikasi dengan mengembangkan Nokia DX 200, sebuah digital swith untuk peralatan telepon.

Nokia kemudian memperkuat posisinya pada era 1980-an dalam telekomunikasi dan peralatan elektronika dengan mengakuisisi Mobira, Salora, Televa dan Luxor dari Swedia.

Nokia juga menawarkan computer PC bernama Mikro Mikko tetapi kemudian menjualnya ke International Computer Ltd (ICL) yang kemudian menjadi bagian dari Fujitsu, di bawah pengelolaan Fujitsu-Siemens AG. Nokia kemudian mengembangkan telepon seluler untuk NMT Network, sayangnya, perusahaan mengalami masalah keuangan tahun 1990-an sehingga akhirnya memutuskan berkonsentrasi ke bisnis telepon seluler dan melakukan divestasi di bisnis televise dan komputer PC.

Tahun 1987 Nokia menguasai operasi dan bagian bisnis komponen dari German Standard Elektrik Lorenz begitu pula perusahaan elektronik Perancis Oceanic. Pada tahun itu juga Nokia membeli perusahaan mesin kabel Swiss bernama Maillefer.

Pada akhir 1980-an Nokia menjadi perusahaan teknologi informasi terbesar di Skandinavia dengan mengakuisisi divisi system data milik Ericsson. Kemudian pada 1989 Nokia melakukan ekspansi di industri kabel ke benua Eropa dengan menguasai pabrik kabel Belanda NKF.

Pada tahun 1992 Jorma Ollila, CEO Nokia, menetapkan strategi yang mereka sebut sebagai “an all out strategy dengan melakukan fokus pada bisnis telekomunikasi. Ollila kemudian menetapkan untuk menggenjot produksi telepon seluler GSM. Pada 1994 Nokia masuk ke bursa saham New York.

Nokia memiliki budaya perusahaan yang dikenal sebagai Nokia Way yang didalamnya memasukkan kecepatan dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi jaringan yang ramping. Nokia memberikan kesempatan yang sama serta keterbukaan disamping kepemimpinan manajemen dan partisipasi karyawan.

Nokia adalah sebuah kelompok teknologi telepon seluler yang memiliki pemikiran maju dengan mengeluarkan jutaan dolar untuk biaya riset dan pengembangan serta membanggakan produknya sebagai “yang pertama di pasar” dengan aplikasi-aplikasi terbaru.

Meski terletak di Finladia bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar di antara para karyawan di perusahaan. Nilai-nilai yang menjadi pegangan Nokia adalah Customer Satisfaction, Respect, Achievement, dan Renewal.

Prestasi Nokia antara lain menjadi pelopor dalam industri telepon mobil. Nokia 6100 menjadi ponsel terkecil di dunia dengan daya tahan baterei paling lama danm tampil sebagai bintang. Sementara itu, Nokia 9000 menjadi telepon seluler pertama yang mampu menjelajah web di Internet.

Langkah sukses Nokia diawali dengan menjual Total GSM System (mobile phone dan infrastructure base station). Nokia pun menjadi satu dari dua besar pemasok GSM based celluler networks. Pada tahun 1997 ia menjadi produsen telepon seluler terbesar kedua di dunia dengan total penjualan bersih 1997 mencapai US$ 9,8 miliar serta menjadi pabrikan di tiga benua di lebih dari 10 negara.

Kelebihan lainnya ponsel Nokia digunakan di lebih dari 30 negara dan teknologi GSM Nokia dipakai oleh 72 operator di lebih dari 36 negara. Sedangkan, Nokia Fixed Network System dipakai di lebih dari 50 negara.

Pusat R&D Nokia terdapat di empat benua serta memiliki 41.000 pegawai di seluruh dunia. Setiap 1 dari 4 pegawai Nokia bekerja di bagian R&D.

Sebagai produsen ponsel Nokia bertarung denga dua raksasa yakni Motorola dan Ericsson. Sementara pemain-pemain lain seperti Samsung, Philips, Siemens dan Panasonic bersusah payah untuk meraih posisi terhormat itu.

Motorola Ericsson Nokia

Penjualan 1997 US$ 29,8 US$ 21,1 US$ 9,84

Persen kenaikan 6,5 % 35 % 34 %

Laba operasi US$ 1,95 US$ 2,37 US$ 1,58

Persen pertumbuhan Datar 75 % 98 %

Dua motor penggerak Nokia adalah telepon seluler dan base station. Keduanya menyumbang 88 persen dari penjualan Nokia. Meningkat dari US$ 2,1 miliar pada tahun 1993 menjadi US$ 8,7 miliar pada 1997.

Kondisi itu membuat investor kemudian ramai-ramai membeli saham Nokia.

Apa yang membuat Nokia sukses? Tidak lain karena Nokia memiliki mimpi. Sehingga ketika pasar telepon seluler meledak Nokia sudah lebih siap dari para pesaingnya.

Visi Jorma Ollila, CEO Nokia Corporation adalah untuk menjadikan Nokia nomor satu dalam penjualan telepon seluler, pertumbuhan dan return on capital employed.Nokia juga pertama dalam teknologi 3G

Jorma Ollila melakukan langkah-langkah jitu sebagai berikut. Pertama, fokus. Pada tahun 1996 Nokia melakukan perampingan bisnis dengan menjual bisnis kabel dan televise berwarna miliknya. Dengan demikian Nokia mampu berkonsentrasi pada bisnis inti yang menjadi kompetensinya. Kedua, memacu inovasi dan kreatifitas melebihi para pesaingnya. Nokia membangun pusat R&D di Finlandia dan membangun jaringan pemasok dari seluruh dunia. Agar pertumbuhan penjualan dan laba pada tingkat 25-30 %, Nokia harus memacu R&D dengan mengeluarkan model baru pada tingkat yang sangat cepat. Kecepatan (speed) menjadi perhatian Nokia sehingga pada waktu itu mampu melempar produk baru ke pasar setiap 35 hari. Ketiga, mengerti kebutuhan pelanggan dengan cara mendengar

Pada musim semi 1996 tim riset khusus berkumpul di Salo, Helsinki dengan tugas untuk mempelajari apa keinginan dan kebutuhan konsumennya (consumer needs and want).Target waktu ditetapkan 20 bulan. Launching dilakukan November 1997 di Beijing, RRC.

Hasilnya berupa Nokia 6100 yang diluncurkan tepat waktu dan menjadi bintang telepon seluler karena terjual hingga 3 juta unit serta digunakan AT&T untuk program promosinya di AS.

Jorma Ollila, CEO Nokia Corporation berpendapat, “Orang cenderung menjadi keenakan dan merasa puas diri sehingga mereka perlu menerjuni sesuatu yang baru yang tidak dimengerti dan perlu dorongan untuk menumbuhkan insting mereka yang terkuat, yang sangat diperlukan mempertahankan kelangsungan hidup.”

Pada tanggal 1 Juli 1998, Ollila mengumpulkan sekitar 40 eksekutifnya, merombak jabatan mereka dan memberi mereka tugas baru untuk memposisikan Nokia menghadapi abad 21 yang akan datang. Removing people from their comfort area bagi Ollila bukan menjadikan orang slip and you die melainkan slip and you grow.

Nokia menjadi merek nomor satu di berbagai pasar di seluruh dunia mengalahkan dominasi Motorola. Produk Nokia sukses di pasar tanpa perlu menggunakan sub brand melainkan lebih berkosentrasi pada corporate brand, memberikan produk individu sebuah merek generik. Pembedanya terletak pada seri nomor dari produk itu, yang bahkan tidak ditampilkan di produk itu sendiri. Jadi kekuatannya terletak pada corporate brand.

Sementara merek lainnya mengalami kegagalan, Nokia meraih disebabkan karena mengandalkan pada teknologi yang mau mengerti pada penggunanya serta melibatkan manfaat emosional pelanggan.

Nokia memiliki banyak karakteristik pribadi bagi mereknya, tetapi para pekerjanya tidak perlu mengingat karakteristik itu. Mereka, sebaliknya, haris selalu mengingat semua impresi yang ada dalam daftar atribut produk yang harus dilakukan pada waktu Anda memikirkan orang yang hendak Anda temui.

Saat fokus pada customer relationship, maka kepribadian Nokia bagaikan sahabat yang dapat dipercaya. Membangun pertemanan dan kepercayaan merupakan jantung dari merek Nokia. Sedangkan dimensi manusia diciptakan melalui kepribadian merek pada strategi positioning merek.

Ketika meletakkan merek di tengah keramaian telepon seluler di pasar maka pesan yang disampaikan harus jelas dengan membawa serta teknologi dan sisi manusiawi pada komunikasinya dengan sangat kuat. Pesan spesifik yang disampaikan dalam tiap iklan dan komunikasi iklan adalah "Only Nokia Human Technolgy enables you to get more out of life."

Dalam kesempatan lain, Nokia menampilkan tag line berbunyi : “We call this human technology". Pesan sebagai “human teknologi” tersebut menumbuhkan kepercayaan yang besar dari pelanggan bahwa Nokia memang sangat memperhatikan pelanggannya.

Sementara itu, apa saja yang dilakukan pesaingnya Motorola?

Pada tahun 1994 ketika Motorola mengklaim menguasai 60 persen pasar seluler AS, sebuah teknologi alternatif sebagai pengganti sistem analog mulai dilirik oleh perusahaan penyedia jasa telepon nirkabel. Teknologi yang di kemudian hari dikenal sebagai teknologi GSM mula-mula dinamakan PCS (Personal Communication System). Teknologi analog meneruskan panggilan telepon melalui gelombang suara. Sinyal dapat terganggu, panggilan seringkali gagal, dan sangat mudah bagi penyusup yang tidak berhak untuk mendengarkan percakapan. Sebaliknya, PCS menerjemahkan panggilan-panggilan menjadi sinyal-sinyal digital --- sehingga gangguan dapat dihilangkan melalui sebuah program --- sementara kode-kode pengaman juga dapat diprogramkan.

Motorola mengabaikan saran dari perusahaan jasa telepon besar yang menjadi pelanggannya. Mereka mengatakan,”Kami membutuhkan digital, kami membutuhkan digital.” Tetapi Motorola malahan mengeluarkan Star-TAC yang berteknologi analog. Para pemasok mengunjungi Shaumburg, kantor pusat Motorola di negara bagian Illinois, AS selama 1993-1994 tetapi Motorola tidak berbuat apa-apa bahkan sampai pada 1996 ketika mereka telah kehilangan kesempatan pertama teknologi digital.

Jadi, Motorola sebenarnya memiliki kemampuan untuk membuat telepon digital serta data ekstensif yang memberikan indikasi bahwa pasar meminta sistem digital.

Tetapi, Motorola melakukan tindakan “tidak rasional” dengan beranggapan bahwa 43 juta pelanggan mereka tidak mungkin melakukan kesalahan dan yang diperlukan pelanggan adalah telepon analog yang lebih baik dan lebih manis bentuknya. Pada intinya Motorola menolak untuk berubah karena merasa pelanggannya sudah cukup besar.

Kesimpulannya pangsa pasar telepon seluler direbut Nokia dan Ericsson karena Motorola sangat terlambat dengan generasi baru telepon seluler dan terpaku pada sistem analog padahal pasar mulai beralih ke sistem digital.

Pesaing bergerak lebih cepat dari Motorola. Ketika Motorola akan meluncurkan telepon seluler yang mampu bekerja pada sistem analog dan digital, tetapi tidak akan siap pada Natal tahun tersebut. Padahal waktu itulah terjadi kebutuhan pasar tertinggi yakni sekitar 40 persen.

Ketika meluncurkan V-series , Motorola sekali lagi mengulangi kesalahan yang dibuat waktu meluncurkan seri Star-TAC. Motorola menjual terlalu mahal yakni US$ 500 dibandingkan rata-rata pesaing US$ 150-US$ 200. Motorola melakukan kesalahan dalam pricing strategy. Mereka salah menilai “price to value” seharusnya mereka melakukan “benchmark”.terlebih dahulu.

Motorola perlu strategi untuk mengembangkan bisnis infrastruktur karena bisnis akhir itu sangat tergantung pada infrastruktur. Sebab itulah yang mengatur panggilan seluler.

Di masa depan jaringan seluler akan menggunakan fast routers yang akan mengurangi kesenjangan antara Motorola dan pesaingnya. Tetapi sekali lagi Motorola ketinggalan dari Nortel yang mengambil alih Bay Networks, perusahaan spesialis high capacity routers. Sekali lagi kecepatan sangat penting.

Pelajaran yang dapat dipetik AQUA LEADERS FORUM dari kasus NOKIA tersebut adal;ah bahwa faktor kecepatan dalam pengambilan keputusan sangat diperlukan sekali oleh pemimpin pasar. “Lengah sedikit maka peluang akan diambil pesaing,” demikian Willy Sidharta menegaskan.



Studi Kasus Levi’s Strauss

Pada kesempatan AQUA LEADERS FORUM lainnya pada tanggal 11 September 1998, Willy Sidharta menyajikan kasus Levi Strauss & Co sebagai kasus sukses perubahan organisasi. Diharapkan kasus tersebut dapat memotivasi seluruh manajemen AQUA untuk siap berubah.

Pada kesempatan itu ia mengungkapkan dipilihnya binatang Rusa sebagai maskot atau logo pada pertemuan rutin tersebut. Rusa dipilih karena memiliki karakter gesit, cepat dan tangkas (proactive), cerdas, cerdik dan berkemampuan tinggi (smart), memiliki daya tahan tinggi dan tidak mudah menyerah (endurance). Binatang ini juga memiliki sifat suka berkelompok , bekerjasama, mengembangkan sesame serta menolong satu sama lain (team work oriented).

Levi Strauss & Co adalah sebuah perusahaan apparel global dengan produk jins bermerek dan pakaian casual sport dengan merek Levi’s, Docker dan terakhir Slates.

Perusahaan itu didirikan Levi Strausss, imigran asal Buttenheim, Bavaria, Jerman yang tiba di AS tahun 1847. Pada 1853 ia berlayar ke San Francisco untuk berbisnis pakaian dengan ipar dan saudara perempuannya.

Sekitar tahun 1872 ia menerima surat dari Jacob Davis, penjahit Nevada, salah satu pelanggan tetapnya. Dalam suratnya David menceritakan penemuannya berupa celana dan kain denim yang dilengkapi pin tembaga di sekeliling kantong agar tidak mudah aus. David mengaku tidak mempunyai uang untuk mendaftarkan patennya dan menawarkan kemitraan. Hak paten dikeluarkan atas nama dua orang itu pada 1873 dan sejak itu orang mulai mengenal istilah celana blue jeans.

Celana denim yang dilengkapi pin tembaga itu menjadi amat populer di kalangan pekerja tambang, koboi, pekerja kasar dan siapa saja yang membutuhkan celana yang enak dipakai dan tahan lama. Strauss membangun pabrik di Market Street dan Fremont Street di kota San Francisco. Pada 1880 perusahaan membukukan omset sampai 2,4 juta dollar. Sepotong celana Levi’s rata-rata dijual seharga US$ 1,5. Pada 1890 Strauss dan empat keponakannya mulai membentuk badan hukum bagi perusahaannya. Meski Strauss meninggal pada 1902 perusahaan tetap berjalan di tangan empat keponakannya.

Ketika tahun 1906 gempa bumi dahsyat melanda San Francisco maka pabrik Levi’s pun ikut hancur. Levi’s kemudian mendirikan pabrik di Valencia Street yang masih beroperasi hingga sekarang.

Selama tahun berikutnya Levi’s hanya melakukan sedikit perubahan. Akibat Levi’s hanya memasarkan produknya ke para pekerja di kawasan Barat AS, perusahaan mengalami masalah dalam hal ekspansi yang membuat penjualan menjadi stagnan.

Masa kejayaan Levi’s bangkit kembali ketika perusahaan diambil alih Walter Hass yang masih terhitung cicit dari Levi Strauss yang memimpin sejak 1919. Selama Depresi Besar tahun 1930-an perusahaan sempat mengalami kemunduran tetapi berkat film dengan tema koboi pada waktu itu nama Levi’s melejit ke seantero AS.

Levi’s kemudian menjadi mode di kalangan anak muda di kampus tahun 1940-an dan 1950-an terlebih setelah Marlon Brando dalam film The Wild One (1954) dan James Dean dalam Rebel Without a Cause (1955) mengenakannya di film itu. Pada akhir 1950-an Levi’s menggunakan jasa distributor untuk memasarkan produknya ke Jerman, Perancis dan Inggris.

Pada 1971 Levi’s masuk ke bursa saham untuk melakukan ekspansi ke seluruh dunia. Sampai 1983 Levi’s Strauss telah beroperasi di 40 negara dan menjual produknya di lebih dari 75 negara.

Dockers yang diperkenalkan pada 1986 mendapat sambutan luas. Celana pendek dari bahan katun yang longgar pada bagian atasnya dan mengecil di bagian bawahnya ternyata disukai kalangan baby boomers yang mulai meningkat dewasa. Merek baru itu menjadi populer sebagai pakaian kasual di tempat kerja pada awal 1990-an.

Bila Levi’s memiliki asosiasi pria, muda, kuat, urban dan denim maka Dockers ditujukan untuk pria usia menengah yang memerlukan ukuran gaya yang berbeda. Di sini Levi’s berperan sebagai endorser bagi Dockers.

Pada 1996, Levi’s memperkenalkan Slates , celana untuk pria sekaligus merek ketiga yang dikeluarkan Levi Strauss & Co.

Pada tahun 1980-an Levi’s sudah membagi-bagi pasar atas lima segmen. Pertama, segmen utilitaraian, loyalis Levi’s. Mereka yang jumlahnya sekitar 26 persen ini mencari pakaian yang nyaman dan tahan lama untuk bekerja sekaligus bermain. Kedua, segmen tradisionalis umum, 18 persen, terdiri dari golongan usia yang lebih tua yang membeli stelan polyester di pertokoan. Di segmen itu Levi’s meluncurkan Actionwear. Ketiga, segmen individualis klasik sejumlah 21 persen merupakan pria pesolek yang cenderung membeli bahan yang mengandung wooldan berbelanja di took-toko khusus. Di segmen itu, Levi’s meluncurkan Levi Tailored Classic, setelan wool untuk pria yang mampu bersaing dalam hal bahan, pengerjaan dan mode. Segmen keempat dan kelima dibagi-bagi untuk pembelanja harga dan casual trendy. Kedua pasar itu pun ikut digarap Levi’s.

Pada saat presentasi itu diberikan (1998) Levi’s merupakan perusahaan apparel bermerek terbesar di dunia. Pada tahun 1995 penjualannya mencapai US$ 7 miliar.

Jumlah karyawan Levi’s di seluruh dunia mencapai lebih dari 30.000 orang terdiri dari 20.500 orang di AS, 7000 orang di Eropa dan 2400 orang di Asia Pasifik. Jumlah tersebut belum termasuk karyawan tak langsung di pabrik-pabrik dan distributor. Levi’s memiliki 41 fasilitas produksi dan 27 customer services centre di lebih dari 50 negara. Pada 1995 laba perusahaan mencapai lebih dari US$ 700 juta.

Keberhasilan finansial tahun 1990 diikuti oleh budaya perusahaan yang unik dan progresif yang merupakan ekspresi value driven competition yang menekankan :

  1. Partisipasi dan perbedaan (diversity)
  2. Accountability dan team work.
  3. Top to bottom” komitmen untuk berkomunikasi terbuka.

Kesimpulannya Levi Strauss & Co merupakan salah satu dari perusahaan-perusahaan kelas dunia yang paling berhasil dalam hal rekor penjualan dan rekor laba. Selain itu Levi’s juga memiliki karyawan, produk, merek dan strategi pemasaran yang hebat dan didukung budaya perusahaan yang bagus.

Jadi apa masalahnya sehingga Levi’s perlu berubah? Pemikirannya berawal dari asumsi bahwa betapa pun besar dan hebatnya Levi’s dunia luar terus berubah. Para pelanggan semakin tinggi tuntutan dan perannya. Dan para pemasok makin banyak dan tersebar di seluruh dunia.

Apa saja masalah yang dihadapi Levi’s?

Meskipun Levi’s mempunyai produk dan pemasaran yang hebat tetapi pelanggan mengeluh. “Pelayanan Levi’s jelek, mereka bekerja lamban” atau “Levi’s tidak dapat diandalkan, mereka hanya mampu mengirim kurang dari 40 persen pesanan yang dijanjikan” atau “Pelayanan Levi’s jelek, mereka bekerja lamban” atau “Levi’s tidak dapat diandalkan, mereka hanya mampu mengirim kurang dari 40 persen pesanan yang dijanjikan”

Levi’s menghadapi masalah dengan seluruh mata rantai pasokannya dari pemasok hingga ke konsumen. Masalah yang dihadapi sangat rumit karena Levi’s memiliki 600 kontraktor di 50 negara, menjual 65.000 kombinasi merek, desain, bahan, warna dan ukuran serta menjual ke 8000 macam pelanggan.

Apa solusinya?

Perubahan. Sebuah perubahan yang dramatis.

Pada 1993 Levi’s mulai untuk mengubah segalanya. Pada tahun itu manajemen puncak Levi Strauss & Co memutuskan untuk melakukan program transformasi yang sangat ekstrerm dan agresif, melihat jauh ke depan dan sangat ambisius.

Orang yang berada dibalik perubahan itu adalah Thomas M. Kasten (53) Wakil Presiden Direktur Levi Strauss & Co . Pada tahun 1993 ia menerima tantangan terbesar dalam hidupnya serta memimpin kampanye untuk menyiapkan Levi’s menghadapi abad ke-21.

Mengapa Levi’s harus berubah sementara perusahaan sangat sukses?

Thomas Kasten berkata : “ Kamu harus berubah bila pelanggan mengatakan bahwa kamu harus berubah.” Hal yang sama juga pernah dikatakan Andy Grove, CEO Intel yang berujar :” Paling tidak ada satu titik dalam sejarah setiap perusahaan di mana diperlukan perubahan dramatis untuk meningkatkan kinerja selanjutnya. Mengabaikan momen tersebut dapat membuat kinerja perusahaan mengalami penurunan.”

Model perubahan yang dilakukan Levi’s adalah Middle Up Down Change. Artinya menajemen puncak menciptakan konteks proyeksi, menetapkan misi dan sasaran serta memberikan ijin untuk berpikir luas. Ketika tahapan mencapai tahap desain dan pernerapan, tahap memikirkan cara mencapai sasaran, tahap menentukan bentuk organisasi dan tahap penentuan pekerjaan apa saja yang mesti ada, maka pada tahap ini manajemen menengah mengambil alih peran.

Bagaimana Levi’s memulai perubahan itu ? Pada tahun 1993 Levi’s memilih 200 karyawan terbaik dan membebaskan mereka dari tugas sehari-hari. Mereka dikelompokkan menjadi 20 tim. Mereka diarahkan untuk menata ulang mata rantai pasokan.

Thomas Kasten memberikan pesan kepada tim tersebut :

Ada 200 orang di dalam ruang ini dan semuanya akan menjadi salah satu dari dua A ini. Beberapa di antara kalian akan menjadi A yang pertama yakni AMBASSADOR (duta besar) yang akan menolong rekan-rekan kalian untuk mengerti apa yang sedang kalian lakukan, menjelaskan keuntungan dan mendorong mereka untuk maju. Dan beberapa di antara kalian ada yang menjadi A yang kedua yakni ASSASIN (pembunuh) yang akan menghancurkan kesempatan kita untuk meraih sukses.”

Seorang yang berperan sebagai AMBASSADOR perlu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi lisan dengan berbagai jenis pendengar serta mengerti apa yang harus dilakukan untuk bekerja dalam sebuah tim.

Apa tugas pertama tim itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah meyakinkan semua orang bahwa Levi’s perlu berubah.


”Hal itu sulitnya bukan main,” demikian Willy Sidharta menyelipkan komentarnya dalam presentasi.

Bagaimana mereka melakukannya? Ciptakan gambaran mengenai risiko yang dihadapi bila tidak melakukan perubahan. Salah satu caranya adalah dengan mendengar pendapat pelanggan tentang Levi’s :

“Kami dapat mempercayai pesaing Anda. Kami hanya melakukan sampling pengiriman mereka, sedangkan pengiriman Levi’s terpaksa kami cek seluruhnya.”

“ Tenggang waktu pengiriman Levi’s paling jelek. Kalau Anda bukan Levi’s Anda sudah terpuruk.”

Kemudian manajemen Levi’s mengumpulkan contoh-contoh kasus perusahaan yang pernah menghadapi masalah karena tidak atau gagal melakukan perubahan (diantaranya IBM, GM, DEC dan lain-lain). Kemudian fakta tersebut dipasang sebagai poster dan disebarkan ke seluruh organisasi. Tulisan pada pesan itu terpampang dengan dengan huruf besar : “Apakah Anda bersedia kita bergabung dalam daftar ini?”

Tentu saja di kalangan karyawan Levi’s terjadi penolakan untuk bergabung dalam daftar itu. Sisi lain dari PERUBAHAN adalah PENOLAKAN (resistensi).

Bagaimana cara mengatasi penolakan?

  1. Kita harus mengatasi adanya penolakan. Tidak dapat diingkari bahwa manusia selalu membesar-besarkan kesenangan di masa lalu, penderitaan di masa kini dan risiko di masa depan.
  2. Jangan dimasukkan ke hati. Atau kita akan mengalami stress atau tekanan batin.
  3. Kita harus tahu bahwa penolakan selalu datang tersembunyi dan kita harus memecahkannya.

Contoh resistensi adalah sebagai berikut :

  1. “ Saya tak mau berubah karena saya takut”
  2. “Pelanggan kita tidak memerlukan yang demikian.”
  3. “Ini mungkin bisa untuk perusahaan tetapi tidak cocok untuk divisi saya.”
    “Pelanggan kita sebenarnya tidak menginginkan apa yang mereka bilang mereka inginkan.”
  4. “Pesaing kita tidak benar-benar melakukan seperti yang mereka lakukan.”
  5. “Kinerja kita sudah cukup baik kita tidak perlu mengubahnya.”

Orang membutuhkan sarana untuk bisa berubah. Manajemen Levi’s harus melatih mereka melalui video, seminar, buku kerja atau manual, self diagnostic untuk dua hal yakni pengertian dan kemampuan.

Bagaimana manajemen Levi’s membangun kesejahteraan? Melaui 3I yakni Information, Involvement dan Intervention.

Informasi dengan menunjukkan pada semua pihak apa yang sedang dilakukan tim serta meminta mereka untuk mencoba hal-hal baru yang sedang dikembangkan. Pasang pengumuman di mana-mana . Adakan pertemuan kelompok dan kunjungan lapangan.

Keterlibatan dimaksudkan untuk mendorong mereka memberikan masukan, saran komentar termasuk hal-hal negative yang biasanya takut dikemukakan.

Sedangkan, Intervention akan tiba saatnya untuk mengambil keputusan ke arah mana akan menuju. Kapal akan segera berangkat . Ada banyak tempat untuk setiap orang tetapi kita harus memilih akan ikut atau tidak? Setiap orang memiliki suara tetapi tidak semua orang memutuskan.

Hasilnya proses bisnis telah berubah dengan sistem baru, deskripsi dan ribuan macam uraian jabatan dan menciptakan banyak jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada. Sebelumnya, semuanya mengacu pada budaya Levi’s tetapi kemudian tercipta suatu organisasi yang berubah secara total.

Yang paling sulit dalam perubahan adalah faktor manusia.”Kita tahu akan menuju kemana, tetapi kita tidak mempunyai sumber daya manusia yang mampu membawa kita ke sana,” kata Thomas Kasten.

Lalu, apa yang dilakukan Levi’s untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia? Caranya dengan melakukan kembali rekrutmen internal dan eksternal.

  1. Semua orang harus melamar kembali jabatan yang tersedia, diperbolehkan melamar pada lebih dari satu jabatan.

  1. Mereka harus mempunyai kapasitas kepemimpinan maupun menggelar team work atau kerja sama dan visi untuk berpikir sistematis.

Sisi negatif dalam rekrutmen ulang internal adalah :

  1. Menimbulkan stress pada karyawan maupun tim rekrutmen
  2. Prosesnya sangat memakan waktu (hanya 700 orang selama 2 tahun)

Sedangkan, sisi positifnya adalah :

1. Tim mampu mengangkat kemampuan dan bakat yang sebelumnya tersembunyi.

2. Kita bisa mengetahui lebih banyak tentang orang-orang di sekitar kita.

3. Karyawan akan dipaksa untuk melihat dirinya dan bertanya :”Dimana saya bisa memberikan nilai tambah dalam organisasi ini?”

Di luar konteks studi kasus yang disampaikan Willy Sidharta tersebut pada kenyataannya yang membuat Levi Strauss & Co harus berubah adalah akibat menurunnya pendapatan dan laba pada tahun 1990-an. Hal itu terjadi karena di pasar blue jeans Levi’s dan Wrangler harus menghadapi persaingan ketat dengan jins yang lebih trendi ciptaan Calvin Klein, Fiorucci dan Gloria Vanderbilt.

Demi menekan biaya pada 1997 Levi’s terpaksa melakukan PHK sejumlah 6500 karyawan sehingga tinggal menyisakan sepertiganya serta menutup pabrik di AS dan Kanada untuk dipindahkan ke Asia Pasifik yang lebih murah ongkos tenaga kerjanya.

Pada tahun 1998 total penjualan Levi’s anjlok 13 persen lagi dan pada 1999 Levi’s terpaksa melakukan PHK hingga menyisakan karyawan tinggal sepertiganya lagi serta menutup pabrik-pabriknya lagi. Menurut manajemen Levi’s bertarung dengan pesaing yang menggunakan tenaga kerja murah di Asia Pasifik membuat perusahaan tidak mampu lagi untuk mempertahankan produksi skala besar di AS dan Kanada. Sebagai perusahaan yang bertanggung jawab maka Levi’s menawarkan program pelatihan untuk alih profesi serta menanggung biaya selama masa transisi kepada mantan karyawannya.

Apa relevansi kasus Levi’s bagi AQUA?

Kasus Levi’s dianggap Willy Sidharta sebagai salah satu isyarat bahwa AQUA betapa besar dan posisinya di pasar sebagai pemimpin pasar tetap harus berubah karena pesaing, pelanggan, pemegang sahan dan situasi sekeliling juga mengalami perubahan.

Willy kermudian menegaskan,”Kita harus berubah sebelum bisnis kita anjlok.” Dipaparkannya berbagai kondisi eksternal yang dihadapi AQUA.

Dari sisi pelanggan terjadi penurunan daya beli, perubahan perilaku, pelanggan makin cerdik, peka terhadap harga, pelanggan makin berperan, mampu menekan harga dan terjadi lunturnya kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek.

Dari sisi pesaing maka produk mereka makin berkualitas karena memiliki kondisi keuangan yang kuat, memanfaatkan teknologi yang sama, mampu membaca sekaligus mengontrol pasar, lebih produktif dan lebih berorientasi ke pasar.

Pesaing juga makin cerdik. Pada waktu itu 2 Tang berhasil mengisi segmen pasar yang kosong, Ades Royal mengisi pasar yang belum terisi. Equil menggunakan pendekatan pemasaran yang berbeda. Pesaing juga tak jarang menumpangi inovasi AQUA dengan cepat disamping mampu membaca kelemahan AQUA serta menciptakan jalur pasar yang berbeda seperti munculnya depot air minum isi ulang.

Pesaing AQUA juga makin banyak yang beralih ke pasar 5 galon yang memiliki marjin keuntungan maupun pasar lebih besar.

Pesaing AQUA umumnya dapat hidup karena harga yang ditetapkan AQUA lebih tinggi.

Dengan demikian makin banyak pula “share of pocket competitors” karena menurunnya daya beli konsumen.

Sementara itu, situasi pasar menunjukkan terjadinya kontraksi pasar sehingga konsumsi menurun, terjadinya perpindahan antar ukuran produk, perpindahan antar kategori dan perpindahan merek, makin banyak alternatif bagi pembeli, makin banyak pesaing di pasar 5 galon dan pergeseran kepercayaan.

Dari sisi pemegang saham, masuknya Danone pada September 1998 dengan memegang 40 persen saham menuntut AQUA berubah dengan meningkatkan profesionalisme dalam segala aspek organisasi.

Perubahan apa saja yang bakal dihadapi AQUA?

Perubahan itu meliputi struktur organisasi, budaya kerja dan pemasaran, sikap mental, cara memandang konsumen, cara menghadapi persaingan dan cara melakukan bisnis.

Sasaran AQUA tidak lain hanyalah meraih dominasi pasar (market share) dan tingkat laba (profitablility).

Perubahan akan menciptakan kesempatan. Jangan menunggu melainkan jemputlah kesempatan itu. “Tanyakan pada diri Anda sendiri dimana saya bisa memberi nilai tambah bagi perusahaan, ” ujar Willy. ***