Tuesday, December 19, 2006

LOLOS DARI SERGAPAN BADAI KRISIS EKONOMI

Krisis bagi pebisnis memiliki dua makna yakni ancaman sekaligus peluang. Di masa krisis Willy Sidharta nekat untuk menunda kenaikan harga untuk menyingkirkan para pesaing yang sebelumnya selalu mempermainkannya. Selain itu, jaringan distribusi AQUA diperkuat dan ia pun mengampanyekan minum air putih 8 gelas sehari. Hasilnya perusahaan berhasil tetap survive di masa krisis.


Setelah selama dua tahun AQUA berjalan tanpa arah yang jelas pada tahun 1996 Willy Sidharta kemudian mencanangkan VISI AQUA 2000. Sasarannya, AQUA pada tahun 2000 harus dapat meraih volume penjualan 2 miliar liter dari total volume penjualan sebesar 686 juta liter pada 1995 .

Penolakan dari kalangan internal perusahaan bukannya tidak ada. Bahkan, ketika Willy menyampaikan visi tersebut di forum manajer hampir semua yang hadir setuju. Mengapa? Dengan visi itu berarti AQUA harus memacu pertumbuhan rata-rata 35 persen per tahun dan sasaran pertumbuhan sebesar itu dirasakan berat untuk dicapai para manajer berpendapat bahwa untuk meraih pertumbuhan 15 persen -19 persen saja pada waktu itu diraih dengan susah payah. Tetapi Willy yakin dengan melihat pertumbuhan rata-rata selama 1993-1996 yang mencapai 22 persen hal itu dapat diraih dengan kerja keras.

Akhirnya pada Februari 1997 visi tersebut disepakati untuk diterima dengan bekerjasama erat bahu membahu untuk meraihnya. Terbukti kemudian AQUA pada 1997 mampu meraih pertumbuhan 33 persen.

Untung tak dapat diraih, malang tidak bisa ditolak. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998 akhirnya memporakporandakan seluruh skenario tersebut.

Alih-alih tumbuh pesat, selama krisis pasar industri AMDK malah semakin kedodoran. Hanya karena krisis moneter yang melanda Indonesia itu maka sasaran penjualan hanya dapat tercapai 1,78 juta liter pada tahun 2000.

Namun, rupanya VISI AQUA 2000 memiliki pengaruh yang luar biasa sehingga mampu mengubah sebuah “mimpi” menjadi “kenyataan”. Tentu saja semua itu diraih dengan kerja keras bersama sebagai tim.

Krisis ekonomi di Asia dipicu kekacauan finansial di Thailand. Mata uang Bath Thailand yang melemah pada Juli 1997 pada akhirnya menyeret mata uang Rupiah. Kondisi makin parah ketika pemerintah pada 14 Agustus 1997 membuat keputusan untuk menghapus batas intervensi dan menjalankan sistem nilai tukar mengambang yang menyerahkan sepenuhnya kendali nilai tukar kepada kekuatan pasar.

Kepanikan melanda masyarakat yang diikuti dengan langkah menjual rupiah. Keadaan diperburuk lagi ketika pemerintah memutuskan menutup 16 bank swasta pada 1 November 1997 yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik pada perbankan. Masyarakat melakukan penarikan dana pribadi sehingga bank-bank mengalami krisis likuiditas. Rupiah pun nilainya makin terjun bebas. Pada Januari 1998 nilai tukar berada di bawah Rp 17.000 terhadap dollar AS.

Beruntung selama masa tersebut kendali keuangan AQUA dipegang John Abdi yang dikenal konservatif. Ketika pada awal tahun 1990-an terdapat tawaran kredit besar-besaran dalam bentuk dollar AS dengan bunga murah John Abdi selaku Direktur Keuangan PT AQUA Golden Mississippi tidak tertarik untuk meminjamnya. Hasilnya, kondisi keuangan AQUA terbebaskan dari beban utang dalam dollar AS yang membuat sebagian besar perusahaan lain mengalami kebangkrutan.

Krisis moneter langsung membuat daya beli masyarakat menurun. Di satu pihak harga mengalami kenaikan. Di pihak lain pendapatan menurun akibat pemotongan gaji, PHK dan kejatuhan berbagai bisnis. Biaya produksi akibat penurunan tajam rupiah telah mengakibatkan banyak bisnis lumpuh dan gulung tikar. Kebangkrutan dan kehancuran menimpa terlalu banyak orang. Semua berada dalam kancah krisis yang belum pernah ada tandingannya sejak kemerdekaan Indonesia.

Akibat penurunan tajam kegiatan ekonomi serta melemahnya daya beli, sebagian besar bank di Indonesia harus menghadapi kredit macet dalam jumlah besar. Selain itu, karena adanya penarikan dana dalam jumlah besar, maka untuk menghindarkan diri dari likuiditas yang semakin memburuk , banyak bank nasional tidak punya pilihan lain selain menawarkan bunga simpanan tinggi pada tingkat 50 persen – 70 persen.

Namun, dalam masa krisis ekonomi ada beberapa industri yang tergolong tahan krisis yakni industri farmasi, jamu, rokok serta makanan dan minuman. Lebih-lebih bagi bisnis yang memiliki sasaran pasar kalangan menengah ke atas mereka lebih beruntung. Sebab di segmen tersebut paling tidak terdapat tiga kelompok konsumen yakni Smart Customer, Dumb Customer dan Snob Customer.

Smart Customer (64,7 persen) adalah kelompok pelanggan yang memandang harga suatu produk ditentukan oleh kualitasnya. Dumb Customer ( 22,6 persen) merupakan kelompok konsumen yang tidak memperdulikan merek tetapi menekankan pentingnya harga yang terjangkau. Sedangkan, Snob Customer (12,7 persen) merupakan kelompok pelanggan yang lebih mementingkan merek tanpa mempedulikan harga yang tinggi sekalipun. Bila kalangan Smart Customer dan Snob Customer merupakan bagian terbesar dari pelanggan maka dapat dipastikan produsen yang menjual produk tersebut akan selamat dari belitan krisis.

Air minum dalam kemasan yang selama masa tersebut diperkirakan akan lolos dari deraan krisis finansial berupa lonjakan dolar AS terhadap rupiah, ternyata terkena pukulan yang cukup telak.

Para anggota Aspadin berkeluh kesah soal mahalnya harga bahan baku kemasan plastik. Kebetulan Willy Sidharta menjabat pula sebagai Ketua Aspadin. Padahal, plastik kemasan memakan biaya cukup besar dalam proses produksi dan pemasaran AMDK. “Hampir 80% biaya produksi AMDK memang untuk membeli kemasan,” ungkap John Abdi, Direktur Keuangan PT AQUA Golden Mississippi, Tbk.

Bahan baku plastik tadi selama ini masih tergantung pada impor. Memang, kini banyak produsen plastik yang beroperasi di Indonesia --- antara lain PT Polypet, PT Bakrie Kasei hingga perusahaan yang lebih besar seperti PT Tripolyta dan PT PENI. Namun, untuk kelancaran produksinya mereka masih banyak bergantung pada bahan impor. Kalupun sudah ada yang diproduksi di dalam negeri, pra produsen tetap meminta produknya dibayar dengan US$.

Ini tidak hanya merepotkan para produsen AMDK tetapi juga pengusaha pengolahan plastik di sektor hilir yang tergabung dalam Federasi Industri Plastik Indonesia (Fiplasin). Menurut Ketua Umum Fiplasin M. Sarbibi, dari 180 anggotanya, lima diantaranya telah ditutup. Adapun perusahaan yang masih bertahan kapasitas produknya turun sampai 50 persen lebih.

Ujung-ujungnya memang bisa ditebak. Para produsen AMDK yang selama ini bergantung pada pasokan industri plastik hilir tadi, kemudian merasakan getahnya. Menurut sumber di Fiplasin, para produsen plastik kemasan sebenarnya tak menaikkan harga. Bahkan, beberapa justru berani memberanikan potongan 10%-20%. Plastik jenis PET (polyethylene terephthalic) --- bahan baku utama kemasan botol --- misalnya dulu dipasarkan sekitar US$850/ton. Meski begitu ada beberapa produsen yang berani menawar dengan harga US$800-820 / ton. Willy Sidharta mengakui hal tersebut meski potongan harga tadi dinilai tak banyak membantu lantaran tarif yang dikenakan dalam bentuk US$. Artinya, dengan Kurs US$ yang pada saat itu setara dengan Rp 8.000 para produsen AMDK harus membayar sekitar tiga kali lipat dari harga sebelum krisis yang ketika itu masih dalam kisaran Rp 2.300-2.500.

Itu masih dari kemasan plastik. Padahal, menurut Willy, selain menggunakan plastik untuk kemasan, para produsen AMDK juga menggunakan plastik penutup botol, yang masih diimpor langsung dari Taiwan atau Korea Selatan. Ada juga kertas karton yang meskipun bisa dibeli di pasar domestik, harus pula dibayar dengan US$.

Langkah strategis apa yang dilakukan Willy Sidharta di masa krisis tersebut? AQUA pada 1998 merupakan pabrik AMDK terbesar dengan 11 pabrik dengan kapasitas produksi mencapai 1,25 miliar liter per tahun dengan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50%. Posisi keuangan AQUA saat itu tidak menguntungkan. Kewajibannya mencapai Rp 107,3 miliar, dengan Rp 101,1 miliar di antaranya merupakan kewajiban jangka pendek (termasuk utang jangka pendek senilai Rp 23,25 miliar). Namun posisi pesaingnya justru lebih jelek lagi.

Menunda kenaikan harga

Situasi tersebut mengilhami Willy Sidharta untuk menjegal lawan-lawannya di tikungan tajam dengan nekat bertahan tidak menaikkan harga untuk menyingkirkan para pesaingnya. “Setelah sekian lama kami habis-habisan dikerjain sekarang momentum yang tepat untuk melakukan serangan balik,” ujarnya.

Strategi tersebut jelas membuat pesaing AQUA kelabakan. Selama AQUA tidak menaikkan harga, mustrahil mereka bisa menaikkan harga jual --- meski kenaikan harga produksi sudah membuat harga yang ada tak masuk akal lagi. Dengan citra merek dan persepsi kualitas yang tinggi di mata konsumen, selama ini AQUA menjadi benchmark dalam penentuan harga jual produk para pesaingnya. Jika pesaing menaikkan harga hingga setara AQUA ---apalagi jika lebih mahal --- konsumen tentunya akan lari ke AQUA.

AQUA bukannya tidak kerepotan dengan strategi nekatnya itu.”Kami sendiri hampir kolaps,” ujar Willy berterus terang. Pada kuartal pertama tahun 1998 AQUA nyaris tidak mampu membayar para pemasok. Namun, strategi ini terbukti ampuh untuk menyingkirkan para pesaing dari gelanggang. Dari sekitar 200 merek yang pernah berkeliaran di jalanan praktis tinggal belasan merek saja yang mampu bertahan.

Seperti halnya di Cina, di sana aksara untuk kata krisis memiliki dua makna yakni ancaman dan peluang. Mengacu hal tersebut maka krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak Agustus 1997 sampai akhir 1998 tidak hanya dipandang sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup suatu bisnis melainkan juga sebuah peluang bisnis. AQUA akhirnya memenangkan game of survival. “Ini memang perang. Pilihannya adalah to kill or to be killed,” katanya.


Baru setelah para pesaing berguguran, AQUA akhirnya mematok harga yang lebih rasional. Itupun tak lebih dari 70 persen dibandingkan harga prakrisis, meski harga bahan baku melambung 250 persen hingga 300 persen.

AQUA pada 1998 menaikkan harga dua kali yakni pada Januari dan Juli. Alasan kenaikan menurut Willy Sidharta karena komponen dollar AS dalam biaya produksi makin menggila terutama dari kemasannya. Dari 80 persen biaya produksi untuk kemasan sekitar 60 persen terkait dengan dollar AS.

AQUA mematok kenaikan harga bervariasi dari 40% sampai 50%. AQUA kemasan 1,5 liter yang dulu dijual Rp 10 ribu per boks (isi 12 botol) naik menjadi Rp 15 ribu per boks. AQUA kemasan plastik kecil (ukuran gelas) dari Rp 7 ribu menjadi Rp 9.750 per boks. Adapun ukuran gallon, kenaikannya hanya Rp 1.000 per gallon dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000.

Kenaikan harga jual --- yang menurut Willy, tidak lebih besar dari lonjakan ongkos produksi tadi --- tetap menekan penjualan AQUA. Penurunan penjualan yang cukup drastis di produk kemasan ukuran gelas. Per Maret 1998 penjualannya amblas 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Menyusul kemudian, kemasan 1,5 liter yang turun sampai 50 persen. Kedua jenis ukuran itu, seperti diketahui, konsumen terbesarnya adalah masyarakat menengah ke bawah --- antara lain pengemudi angkutan umum, pekerja bangunan dan orang yang bepergian jarak jauh,

Adapun AQUA ukuran sedang (600 ml) --- kemasan plastik maupun botol kaca --- dan ukuran 5 galon, nasibnya relatif lebih baik karena hanya turun 10 persen. Sebagai perbandingan jika pada tahun 1997 setiap bulan dapat mengucurkan 85 juta liter produknya setiap bulan (atau sekitar 950 juta liter per tahun) maka memasuki 1998 produksi turun menjadi 70 liter per bulan.

Willy Sidharta serta merta melakukan langkah efisiensi serta mendongkrak pasar. Caranya antara lain dengan melakukan subsidi silang atas berbagai varian kemasannya. AQUA ukuran 5 galon yang penjualannya relatif stabil porsi penanganannya akan diperbesar. Sementara, produk yang kurang laku di pasaran seperti kemasan gelas dan 1,5 liter produksinya dikurangi. Strategi tersebut diterapkan Willy di beberapa daerah pemasaran tertentu yang presentase penurunannya relatif tajam terutama di Jawa. Di luar Jawa seperti Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan yang penjualan kemasan ukuran gelas dan 1,5 liter relatif stabil tidak dikurangi.

Upaya AQUA memperbesar pangsa pasar kemasan 5 galon cukup beralasan mengingat dari tahun ke tahun kontribusinya terus meningkat. Tahun 1995, misalnya, ketika total penjualan AQUA baru berkisar 426 juta liter, sumbangan dari kemasan 5 galon tercatat hampir 60 persen. Ada beberapa alasan mengapa Willy Sidharta menempuh strategi tersebut karena selama ini terbukti tidak terpengaruh krisis moneter. Selain itu, air minum ukuran 20 liter itu tak dijual bersama kemasannya alias kembali botol. Itu sebenarnya sama dengan AQUA kemasan botol beling atau kaca. Namun mengingat pasarnya masih sangat terbatas karena umumnya hanya dijual di restoran yang kini terkena dampak krismon tampaknya berat kalau AQUA juga ingin mendongkrak penjualan kemasan botol kaca.

Satu-satunya harapan AQUA akhirnya ada pada kemasan 5 galon. Sebab sebab selain biaya produksinya relatif murah, marjin laba yang diperoleh juga relatif besar. “Inilah yang kami jadikan subsidi bagi produk AQUA kemasan lain,” Willy Sidharta menjelaskan.

Kemungkinan adanya penyeberangan konsumen dari AQUA ke merek lain tampaknya telah disadari Willy Sidharta. Ini terlihat dari langkah AGM yang sejak beberapa tahun lalu melemparkan merek kedua (second brand) : VIT. Tujuannya tentu saja untuk memerangi merek-merek AMDK lain yang saling berebut pasar. Sehingga andaikata terjadi pergeseran selera ke merek lain diharapkan pindah ke VIT yang masih saudara kandung AQUA. Itu sebabnya harga jual VIT tidak akan lebih mahal dibandingkan AQUA. Ketika AQUA 5 galon dijual dengan harga Rp 5 ribu per gallon. VIT mematok harga Rp 4 ribu. Dan ketika AQUA naik menjadi Rp 6 ribu VIT tetap Rp 1.000 lebih murah.

Memperkuat jaringan distribusi

Seiring dengan itu, jaringan distribusi pun dibenahi. Khusus untuk pendistribusian kemasan 5 galon, sepenuhnya ditangani Grup AQUA sendiri. Sementara untuk kemasan-kemasan lainnya juga menggunakan distributor konvensional. Konsekuensinya Grup AQUA harus menambah cabang dan membangun depo-depo baru untuk menunjang distribusinya. Sepanjang 1998 Grup AQUA membuka 16 cabang baru di Jawa dan luar Jawa, sehingga total memiliki 56 cabang distribusi di seluruh Indonesia.

Armada antaran langsung (direct delivery) pun ditambah hingga mencapai 583 unit truk. Tenaga di bagian distribusi dimekarkan menjadi 3.122 orang atau sekitar 42 persen dari 7.445 karyawan yang ada.” Kami berupaya keras agar jangan sampai penjualan jatuh ke angka di bawah 1 miliar liter per tahun,” kata Willy,” Kalau sampai di bawah 1 miliar liter secara psikologis sulit memperbaikinya.

Melalui berbagai jurus yang dipraktikkan Willy Sidharta, AQUA mampu merebut kembali pasar yang dulu dicuri dari para pesaingnya. Secara pangsa pasar Grup AQUA (AQUA, VIT dan POLAR) kembali menguasai pangsa pasar lebih dari 60 persen. Pada 1997, berdasarkan catatan CIC yang dipublikasikan pada 1998. AQUA menguasai 42 persen pangsa pasar dan VIT 6 persen. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 12 persen.

AQUA juga membangun pabrik baru di Subang pada 1997 untuk melayani wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan Timur.

Strategi pemasaran ke luar negeri juga diubah. Sebelumnya, AQUA menerobos pasar Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, Kamboja, Hong Kong dan Australia. Namun, pasar mancanegara ini rupanya tak selamanya bisa dipertahankan. Apalagi, belakangan industri AMDK lokal di negara-negara tersebut mulai berkembang dan menggerogoti pasar.Maka strategi pun diubah dengan mengurangi ekspor langsung, yang biayanya tergolong tinggi. Sebaliknya, pola kemitraan diterapkan. Dengan pengusaha Filipina dijalin kerjasama lisensi, sementara Brunei diterobos lewat kemitraan dengan pengusaha lokal. Melalui anak perusahaannya IBIC Sdn. Bhd yang memproduksi AMDK bermerek Sehat, Grup AQUA sempat menguasai 60 persen pangsa pasar AMDK di Brunei Darussalam. Sedangkan ekspor langsung hanya dipertahankan ke Singapura yang menguasai pangsa pasar hingga 60 persen.

Alhasil, bila selama krisis ekonomi 1998 seluruh industri di Indonesia mengalami kolaps hingga 30 persen maka AQUA hanya mengalami penurunan sebesar 6 persen saja. “Secara finansial, kami bisa survive,” Willy menuturkan.

Kampanye minum air 8 gelas sehari

AQUA dapat pulih kembali dengan cepat pada 1999 yakni naik kembali menjadi 17 persen berkat program edukasi untuk minum air putih. Pada waktu itu AQUA membuat iklan kecil-kecil di halaman depan surat kabar besar seperti Kompas dengan bunyi kalimat yang sangat persuasif yakni “Biasakan! Minum 8 gelas AQUA setiap hari untuk hidup sehat.” Komunikasi iklan yang cerdas dengan biaya yang rendah itu sempat dikagumi oleh pesaing-pesaing AQUA pada waktu itu.

Di televisi AQUA tampil dengan kalimat,” Minumlah air putih 8 gelas sehari agar Anda sehat.”. Spot iklan tersebut tanpa dibarengi verbalisasi AQUA sedikitpun. AQUA hnya ditonjolkan dalam bentuk visualisasi logo diam di akhir spot. Iklan-iklan AQUA di media cetak pun brnada sama. Di antara pesan-pesannya ,”Cegah dehidrasi sebelum terlambat engan banyak minum air putih”, “70 % tubuh kita terdiri dari air, peranan air putih sangat vital maka minumlah air putih 8 gelas sehari”, “Apa yang terjadi pada tubuh Anda bila minum Aqua setiap hari” dan sebagainya. Dengan iklan itu AQUA ingin lebih mempertajam positioning-nya sebagai minuman yang membantu menyehatkan tubuh.

Iklan tematik dibuat menjadi tiga variasi, untuk menunjukkan bahwa AQUA cocok untuk segala golongan usia dan jenis kelamin, baik pria dewasa, wanita dan anak-anak. Misalnya, model iklan dewasa dengan pose menarik dan kulit putih, ingin menunjukkan, hasil minum AQUA tercermin dari kulit yang putih dan indah itu. Model iklan pria dewasa yang kekar, dimaksudkan bahwa AQUA cocok untuk pembentukan stamina dan kesehatan. Demikian juga untuk anak-anak.

Iklan itu dikerjakan perusahaan periklanan Grey Indonesia. Sementara, JWT-Adforce terutama menggarap promosi below the line. AQUA tampil dalam 18 variasi iklan cetak. Media yang dipilih Kompas (18 kali pasang) dan Nova (8 kali). JWT-Adforce melengkapi dengan 10 versi iklan radio. Di Jakarta, memakai radio Female dan hard Rock dan kemudian juga menyebarkan secara nasional melalui radio network. Sedangkan paket iklanm Grey Indonesia diiklankan di Tempo. Ayah Bunda serta Ibu dan Anak. Grey Indonesia juga melengkapinya dengan tig aversi iklan radio, yakni versi anak sehat, pedagang asongan dan hujan. Ketiganya ditayangkan di radio Female, Sonora dan Trijaya FM.

Strategi komunikasi tersebut merupakan kelanjutan dari paket-paket periklan sebelumnya. Selam 6 bulan, Juni – Desember 1999, AQUA melakukan kampanye pembuka dengan komunikasi yang yakni mengedukasi konsumen mengenai kualifikasi AQUA. Pada tahapan promosi lebih menjelaskan apa sebenarnya AQUA : misalnya asal mata air, proses pengolahan dan teknologi higienisasi yang dipakai. Singkatnya saat iklan AQUA hanya bercerita tentang keunggulan-keunggulan AQUA.

AQUA memperlihatkan dominasinya dengan iklan-iklan yang cerdas dan berdominasi panjang dengan kata-kata kunci seperti “sehat dan kesegaran” atau “ mata air pegunungan dengan mineral seimbang.” Itulah kata-kata kunci iklan yang secara tak langsung ingin mengajak masyarakat mengonsumsi AQUA.

Disamping itu juga melakukan strategi customer bonding dengan membentuk Club Weekend AQUA (CWA) dengan menggandeng Radio Female. Selain disiarkan secara on air di 100,2 FM dan M97FM juga digelar kegiatan oof air rutin setiap akhir pecan di awal bulan. Program itu dimaksudkan untuk membidik ibu rumah tangga, anak-anak dan kalangan professional. Alasannya, orang yangv tinggal di Jabotabek sangat sibuk dan melupakan hidup sehat.

Kegiatan CWA dimulai Maret 2000. Bentuknya antara lain Tour Keramik (Maret), Tour de Bandung (April), Arung Jeram (Mei), Tour Jawa Bali (Juni), Summer Camp (Agustus), Hestr Basuki (September), Tur Lido (Oktober) dan Tour Banten-Anyer-Carita.

Tour de Bandung, misalnya, mengunjungi Planetarium Bosscha di Lembang, melihat alat musik angklung dan belajar memainkannya bersama-sama. Selain itu, mencoba benda-benda unik untuk membuktikan hukum fisika seperti cermin hantu atau bola kristal beraliran listrik.

Awalnya memang sulit mengajak orang bergabung dengan CWA. Tetapi setelah dilakukan promosi peminatnya mulai melonjak. Peserta dibatasi hanya 10 keluarga atau sekitar 40 orang untuk acara yang berlangsung dua hari yakni Sabtu dan Minggu. Adapun yang sehari peserta dapat mencapai 100 orang.

Data SRI AC Nielsen menyebutkan belanja iklan AQUA Januari-Juni 2000 mencapai Rp 13 miliar. Rinciannya, untuk iklan TV komerrsial mencapai Rp 7,6 miliar, iklan surat kabar Rp 3,6 miliar dan iklan majalah Rp 1,67 miliar. Angka tersebut belum termasuk anggaran iklan di 50 stasiun radio di Tanah Air. Tahun 1999 pengeluaran iklan AQUA lebih kecil lagi yakni hanya Rp 4,6 miliar yang belum termasuk promosi di media luar ruang. ***

No comments: