Monday, December 18, 2006

PILIHAN ALIANSI STRATEGIS

Setelah Tirto Utomo tutup usia, Willy Sidharta mengusulkan tiga pilihan bagi masa depan perusahaan. Pertama, berkembang dengan kekuatan sendiri. Kedua, mencari mitra pasif. Ketiga, menjalin aliansi strategis. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir. Apa saja konsekuensi dari pilihan tersebut ?

Ketika Tirto Utomo pendiri AQUA meninggal mendadak pada Maret 1994, manajemen dalam kondisi panik. Namun, ada satu hal yang diusulkan manajemen agar pihak keluarga tidak masuk secara pribadi tetapi disarankan untuk membuat holding keluarga untuk menggantikan Tirto Utomo sebagai pemegang saham keluarga sehingga dengan demikian dapat dihindarkan konflik pribadi antar pemegang saham.

Willy mengusulkan agar para pewaris Tirto Utomo membentuk sebuah perusahaan untuk menjadi wadah mereka sebagai pemegang saham di semua perusahaan kelompok AQUA yang pada waktu itu terdiri dari 16 perusahaan produsen air minum dalam kemasan dan 2 buah perusahaan yang menangani distribusi. Dibentuklah kemudian PT Tirta Investama atau lazim disebut TIV sebagai family holding. Hanya PT Tirta Sibayakindo yang tidak masuk di dalamnya.


Tabel 3. Anak perusahaan PT AQUA Golden Mississippi pada 1994

BIDANG USAHA NAMA PERUSAHAAN

Perdagangan / Distribusi PT Wirabuana Agung
PT Wirabuana Intrent

Air Minum Dalam Kemasan PT Aqua Golden Mississippi
PT Pranida Mulia Utama
PT Tirta Dewata Semesta
PT Tirta Jayamas Unggul
PT Tirta Sibayakindo
PT Tirta Sumber Menara Lestari
PT Tirta Sulut Klabatindo
PT Varia Industri Tirta
IBIC Sdn. Bhd (Brunei)
Filipinas Water Bottling Co. (Filipina)
PT Tirta Babakanpari
PT Tirta Singgalang Minang
PT Tirta Cisantana
PT Tirta Laju Priangan
PT Tirta Mangli
PT Tirta Manaranus


Gagasan itu muncul secara spontan dibenak Willy karena kekhawatiran akan terpecah belahnya AQUA bila para anggota keluarga pewaris masuk sebagai pribadi-pribadi di semua perusahaan kelompok AQUA. Dengan adanya family holding company maka apabila terjadi ketidaksepakatan atau pertikaian, tidak akan mengganggu langsung operasi perusahaan. Gagasan tersebut pada waktu itu didukung pula manajemen AQUA yang lain pada waktu itu.

Maka dibentuklah PT Tirta Investama sebagai “family holding company” untuk menggantikan fungsi Tirto Utomo sebagai pemegang saham di semua perusahaan kelompok AQUA. Keluarga menunjuk beberapa anggota keluarga sebagai pucuk pimpinan perusahaan tersebut.

Waktu berjalan terus dan dalam kurun waktu dua tahun setelah ditinggal Tirto Utomo pangsa pasar AQUA terus menurun. Kondisi itu berjalan pelan tetapi pasti karena pertumbuhan penjualan AQUA selalu lebih rendah dari pertumbuhan pasar. Sementara itu, para pesaing AQUA karena sama sekali tidak mengalami perlawanan yang serius akhirnya menggerogoti pasar AQUA.

Pada tahun 1996, Willy mengumpulkan data dari berbagai sumber, baik dari dalam maupun luar negeri. Data tersebut termasuk pertumbuhan pasar, besarnya pasar dan proyeksi kedepan. Meskipun tidak terlalu tepat, tetapi dari pengalamannya di AQUA selama lebih dari 20 tahun, Willy punya perasaan bahwa data tersebut masih dapat dimanfaatkan dan diandalkan.

Ia menyiapkan berbagai analisa dan juga sebuah presentasi besar mengenai kondisi AQUA sekaligus proposal mengenai masa depan AQUA.Willy segera mengundang semua manajemen AQUA dan pemegang saham.

Pesaing-pesaing kuat yang umumnya perusahaan multinasional digambarkan Willy segera hadir ke Indonesia bagaikan pasukan yang menyerang dengan melakukan terjun payung.

Hal pokok yang didiskusikan tidak lain adalah pilihan hendak kemana AQUA di masa depan. Setidaknya Willy sudah menyiapkan 3 pilihan :

Pertama : berkembang dengan kekuatan sendiri dengan konsekuensi AQUA akan menghadapi pesaing lokal dan pendatang baru dengan kekuatan sendiri pula. Yang menjadi pertanyaan, sanggupkah AQUA dengan segala kekuatan dan kelemahan berupa masalah internal menghadapinya?

Kedua : mencari mitra pasif atau sleeping partner. Kondisi itu dimungkinkan bila AQUA hanya memerlukan dana untuk menunjang ekspansinya ke depan.

Ketiga : menjalin aliansi strategis dengan mitra yang cukup kuat di bidang yang sama.

Willy menyarankan alternatif ketiga, karena AQUA memang memerlukan mitra strategis untuk meningkatkan keunggulan bersaing terutama menghadapi para pesaing asing yang hendak masuk.

Pada waktu itu Willy sudah mendapat informasi bahwa Nestle dan Danone akan masuk ke Indonesia. Sedangkan, Coca Cola sudah meluncurkan produknya di bawah bendera merek Bonaqa. Meskipun merek yang disebut terakhir itu akhirnya mengalami kegagalan di pasar.

Alasan lain yang disampaikan Willy dalam presentasinya adalah kemungkinan percepatan pertumbuhan yang lebih tinggi apabila AQUA menjalin kemitraan strategis dengan mitra yang kuat dan unggul.

Dengan demikian meskipun pihak keluarga nanti tidak lagi memiliki 100 persen saham perusahaan tetapi nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan memiliki 100 persen saham dengan pertumbuhan yang lambat.

Kebetulan pada waktu itu Willy memiliki contoh yang sangat relevan, yakni kisah seorang pemilik pabrik pembotolan minuman ringan di Kalifornia, Amerika Serikat, yang setelah aliansi strategis hanya tinggal memiliki 7,5 persen saham saja namun nilainya masih lebih tinggi dibandingkan ketika ia masih memiliki 100 persen karena pertumbuhan perusahaan yang lebih cepat serta kesehatan keuangan yang lebih prima karena perusahaan dikelola oleh manajemen yang baik.

Perlu pula diingat bahwa sebagai perusahaan keluarga, banyak faktor politik dan konflik yang akan mewarnai jalannya perusahaan yang sedikit atau banyak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.

Hal ini terutama karena Tirto Utomo belum sempat menentukan putra mahkota yang akan menggantikannya, sehingga sepeninggalnya banyak anggota keluarga langsung maupun tak langsung ikut mewarnai jalannya perusahaan.

Konflik atau unsur politik dalam manajemen perusahaan keluarga dapat dihindari apabila sang pendiri menentukan atau mengangkat salah satu anggota keluarga atau profesional untuk memimpin perusahaan. Salah satu contoh yang baik adalah Kelompok Rodamas di mana sang pendiri telah menentukan salah satu anaknya untuk memimpin perusahaan sehingga bisa dihindarkan konflik dalam manajemen perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat berjalan dengan baik dan tenang.

Setelah berdiskusi selama tiga setengah jam, pada akhirnya pihak keluarga setuju untuk menggali lebih dalam pilihan alternatif ketiga, yaitu menjalin aliansi strategis dengan perusahaan multinasional yang menjadi pemimpin pasar dunia di bidang air minum dalam kemasan. Ibu Lisa Tirto Utomo ketika dikonfirmasi soal ini membenarkan langkah yang ditempuh Willy Sidharta. “ Pak Tirto Utomo pun akan mengambil langkah serupa bila beliau masih hidup.”

Untuk itu disepakati untuk membentuk tim yang melibatkan pihak keluarga Tirto Utomo yang akan mencari mitra strategis dan menangani aliansi atau kolaborasi tersebut. Dari pihak keluarga Tirto Utomo antara lain diwakili oleh Gideon Sulistio.
Pada waktu itu ada tiga calon mitra yang ada dalam daftar tim yaitu Coca Cola Amatil (salah satu anak perusahaan Coca-Cola yang berpusat di Australia), Nestle dan Danone.

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan akhirnya Coca Cola dikeluarkan dari daftar dengan alasan bahwa bisnis inti Coca Cola kurang sesuai dengan bisnis AQUA, sehingga dianggap tidak akan memberikan nilai tambah bagi AQUA.

Tinggal dua calon yang tersisa yakni Nestle yang merupakan perusahaan AMDK terbesar di dunia dengan merek unggulan Vittel dan Perrier (Eropa) serta Arrowhead (AS). Satu lagi adalah Danone memiliki divisi AMDK dan pada waktu itu merupakan pemain kedua terbesar setelah Nestle, dengan merek unggulan Evian dan Volvic di Eropa.

Di atas kertas, sebenarnya Nestle lebih tepat sebagai calon mitra AQUA karena Nestle memiliki Arrowhead dan beberapa perusahaan AMDK lain di Amerika dengan bisnis inti di kemasan botol 5 gallon yang merupakan bisnis inti AQUA, karena sejak awal AQUA sudah sangat mantap dalam bisnis kemasan botol 5 gallon yang merupakan lebih dari 70 persen bisnisnya (dalam volume).

Namun, ada faktor lain yang sangat menentukan dalam pemilihan mitra strategis tersebut yaitu budaya perusahaan. Karena pada dasarnya pihak manajemen maupun pihak keluarga tidak menginginkan terjadinya kejutan budaya yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Pertimbangan lain adalah kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, meskipun untuk hal itu Willy sudah memikirkan juga.

Untuk menentukan mitra yang tepat, Willy Sidharta ditunjuk peserta rapat untuk melakukan semacam due diligence atau eksplorasi ke jantung kedua perusahaan tersebut, bersama dengan salah satu wakil keluarga dan satu anggota manajemen lain (siapa saja mereka?).

Due diligence yang dimaksud di sini bukan dari sisi keuangan atau kinerja perusahaan, tetapi lebih untuk melihat dari sisi kemampuan mereka dari segi bisnis dan industri dan lebih penting lagi melihat budaya perusahaan maupun gaya manajemen mereka.

Maka berangkatlah mereka bertiga ke Paris, Perancis tempat Nestle maupun Danone berkantor pusat. Pada waktu itu untuk Nestle, diwakili oleh divisi AMDK milik mereka yaitu Perrier Vittel.

Willy sendiri sudah sangat familiar dengan Vittel karena sejak tahun 1988 ketika AQUA mengakuisisi VIT (PT Varia Industri Tirta) yang menjalin kerjasama dengan Vittel. Di sana Willy memiliki akses langsung dengan Vittel dan boleh dikatakan setiap tahun sekali Willy datang ke Paris untuk melakukan pertemuan teknis dengan pihak Vittel. Di samping itu pihak Vittel secara berkala juga datang ke Indonesia untuk mengaudit VIT karena semua produk VIT mencantumkan merek Vittel.

Bahkan, almarhum Tirto Utomo juga pernah berkunjung ke Vittel bersama Willy Sidharta, Ibu Lisa Utomo dan Meutia, salah satu putri Tirto Utomo. Di Paris rombongan disambut langsung oleh Chairman Vittel, Guy de la Motte Boulomie. Pada waktu itu Vittel belum diakuisisi Nestle, yang kini menjadi perusahaan AMDK nomor satudi dunia.

Mr. Guy de la Motte Boulomie pada bulan April 1989 pernah berkunjung ke Indonesia untuk melakukan pengukuhan kerjasama yang lebih erat antara Vittel dan AQUA.

Setelah sepakat untuk memilih satu di antara dua pilihan tersebut maka dilakukan kunjungan ke manajemen pusat mereka. Sekitar November 1996, Willy dan rombongan mengunjungi fasilitas pabrik Vittel di Perancis yang kini telah dimiliki Nestle. Perbincangan dengan mereka sangat penting karena dari perbincangan itu AQUA dapat melihat sisi yang sangat penting yakni sisi budaya perusahaan dan budaya manajemennya.

Setelah bertemu dengan Vittel dan Nestle, Willy beserta rombongan bertemu dengan manajemen Danone. Di sana Willy melihat dari dekat fasilitas yang dimiliki Evian.

Setelah melakukan kunjungan ke Paris, Perancis dan melakukan perbicaraan dengan seksama dengan kedua belah pihak maka akhirnya tim berkesimpulan untuk cenderung menjalin aliansi dengan Danone.

Alasan memilih Danone sebenarnya hanya satu saja yakni Danone memiliki budaya perusahaan yang lebih mirip dengan AQUA. Mengapa? Karena pada waktu itu Danone masih merupakan perusahaan sekalipun mereka sudah menjadi perusahaan publik. Jadi budanya Danone sangat mirip dengan AQUA yang masih terdapat hubungan perorangan atau kekeluargaan yang kuat.

Sedangkan di Nestle, tim menjumpai bahwa perusahaan itu sudah menerapkan manajemen multinasional yang kental dan 100 persen lebih mengandalkan pada kalangan professional dan expertise masing-masing. “Kita memilih Danone hanya satu hal yakni budaya perusahaan yang cocok dengan budaya kita sehingga tidak menimbulkan cultural shock,” ungkap Wily Sidharta.

Setelah memutuskan hal itu kemudian Willy menyiapkan proses untuk menjalin aliansi. Mulai dari bagaimana bentuk aliansi, jumlah saham yang hendak ditawarkan ternyata memerlukan waktu yang panjang karena akhirnya waktu bergulir hingga ke tahun 1997. Ternyata Agustus 1997 Indonesia mulai terkena dampak krisis moneter yang berawal dari Thailand. Akibatnya terjadi perubahan di sana-sini sehingga akhirnya keputusan baru bisa diambil September 1998. Ketika itu Danone akhirnya mengambil alih 40 persen saham AQUA yang dimiliki induk perusahaan yakni PT Tirta Investama. ***

No comments: