Friday, December 8, 2006

MEMBANGUN MEREK BUKAN KOMODITAS

Berbagai upaya dilakukan AQUA untuk membangun merek agar tidak dipersepsikan konsumen sebagai sekadar komoditas. Semua digambarkan berdasarkan kerangka strategi para pakar pemasaran dan merek.


Selama 1986-1990 AQUA berkutat dan berpacu dengan waktu untuk membangun kapasitas pabrik termasuk pendirian pabrik baru dalam rangka mendekatkan diri ke pasar. Dalam rangka menyesuaikan perkembangan usaha yang makin pesat pada 25 Juli 1989 nama PT Golden Mississippi diubah menjadi PT AQUA Golden Mississippi. Sampai tahun 1990 kapasitas produksi AQUA meningkat 5 kali lipat dibandingkan tahun 1985 dari hanya sebesar 38,23 juta liter menjadi 188,7 juta liter.

Pabrik-pabrik yang mulai dibangun antara lain di Bali (Mambal), Sukabumi (Ciburial), Medan (Brastagi) dan Manado (Air Madidi). Demi membangun citra kualitas yang prima AQUA mulai membangun pabrik dengan konsep integrated production. Maksudnya proses pembuatan botol plastik mulai dilakukan di pabrik bersama-sama dengan proses produksi air minum dalam kemasan.

Dengan beroperasinya pabrik-pabrik baru AQUA tersebut maka produksi botol plastik PET menggunakan 5 mesin PET milik sendiri dan 5 mesin lain milik vendor. Pada waktu itu, AQUA belum menggunakan mesin SIDEL dari Perancis. Mesin kemasan botol plastic 500 ml menggunakan mesin Krupp dan mesin botol 5 gallon Battenfield Fisher. Keduanya buatan Jerman pertama kali dioperasikan 1992 dengan investasi Rp 6 miliar . Sedangkan, untuk pencetakan dari lembaran plastik menjadi gelas plastik (cup) digunakan mesin thermoforming bekas bermerek OMV Verona buatan Italia.

Oleh karena ekspansi untuk pembangunan pabrik baru tersebut membutuhkan dana besar maka Tirto Utomo bermaksud untuk menarik dana publik dengan masuk ke bursa saham. Awal 1990 PT AQUA Golden Mississippi menjual saham kepada masyarakat di Bursa Efek sejumlah 1 juta lembar saham dengan nilai nominal Rp 1.000 per saham. Penawaran perdana dengan harga Rp 7.500 per saham. Saham yang ditawarkan itu adalah 16,67 % dari seluruh saham. Dengan demikian AQUA telah go public menjadi perusahaan terbuka.

Membangun Merek Kokoh

Di kancah internasional AQUA telah meraih berbagai penghargaan. Di antaranya AQUA AWARD dari International Bottled Water Association (IBWA) dalam waktu 5 tahun berturut-turut dari tahun 1985 hingga 1989 dan penghargaan World Star dari Beijing, RRC.

Selain itu, pada 10 November 1987 AQUA memperoleh sertifikat SII (Standar Industri Indonesia) dari Departemen Perindustrian nomor 1359/M/II/1987 untuk produk AQUA Bekasi. Kemudian disusul pabrik-pabrik AQUA lainnya. Dengan demikian seluruh produk AQUA telah memperoleh tanda SII yang menunjukkan bahwa kualitas AQUA dapat dipercaya.

AQUA berhasil meraih penghargaan bergengsi seperti itu karena AQUA tak kenal lelah untuk membangun merek. Pada dasarnya merek merupakan suatu cara untuk membedakan suatu produk dari produsen lain yang berlainan. Merek dapat mengantarkan suatu produk mempunyai hubungan dan arti khusus dengan konsumen sehingga konsumen dapat membedakan harga, kualitas dan persepsi suatu produk dengan produk-produk lain. Merek dapat memberikan suatu tingkat kualitas tertentu sehingga pembeli yang puas akan selalu memilih produk tersebut.

Mengapa diperlukan merek? Merek diperlukan sebagai pembeda (differentiation) dari produk sejenis lainnya. Merek juga digunakan agar produk tidak dianggap sekadar komoditas sehingga dapat dijadikan identitas. Selain itu, merek merupakan inti dari semua kegiatan pemasaran.

Sebagai contoh, orang mengenal merek Bakmi Gajah Mada untuk sebuah restoran bakmi atau Soto Kudus Gereja Ayam Blok M untuk sebuah restoran soto. Demikian pula ada pisang yang memiliki merek Chiquita dan ada apel bermerek Apel Washington.

Merek selain berfungsi untuk menambah nilai dari suatu produk juga membangun keunggulan bersaing dibandingkan para pesaingnya. Disamping mencipta kedekatan emosional antara produk dan konsumen.

Kekuatan merek dapat dilihat dari produk air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek Evian yang memiliki slogan “From the French Alps for the World.” Di AS, Evian yang masuk dalam kategori drinkable tapwater dihargai US$ 1-1,5 untuk kemasan ukuran 500 ml. Itu berarti harga Evian 20% lebih mahal dari bir Budweiser, 80 % lebih mahal dari Coca-Cola dan 40 % lebih mahal dari produk susu kemasan.

Merek dari sisi produsen dapat menjadi kekuatan tawar-menawar (bargaining power) terhadap pengecer. Sebaliknya bagi konsumen dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk menjalin hubungan emosional (powerful relationship).

Sumber kekuatan dari sebuah merek antara lain. Pertama, menyangkut citra yakni citra kualitas, citra penampilan berupa kemasan, label atau karton pembungkus. Citra perusahaan berupa gaya manajemen dan keagenan maupun reputasi. Kedua, ketersediaan produk itu sendiri di mana saja dan kapan saja. Ketiga, harga yang kompetitif. Keempat, pelayanan yang menyangkut kepuasan pelanggan. Kelima, inovasi berupa kemampuan untuk meremajakan produk agar tidak menjadi tua.

Tahapan merek di industri AMDK terdiri dari tiga tahap yakni tahap komoditas (drinking water), tahap kategori produk (bottled water) dan tahap merek spesifik (AQUA, Evian).

Membangun merek untuk komoditas generik seperti kopi, tepung terigu atau mineral sulit dan memerlukan waktu yang lama dan mahal. Namun, sekali terbentuk menjadi merek seperti Kopi Kapal Api, Tepung Terigu Bogasari atau AQUA akan sangat sulit digempur pesaing. Di sisi lain, sekali mengalami masalah juga mudah sekali mengalami kehancuran seperti yang terjadi pada Perrier ketika tercemar benzene.

Melalui merek perusahaan dapat mentransformasikan “air” menjadi “AQUA”. “hamburger” menjadi “McDonald’s”, “roti” menjadi “BreadTalk” dan “mobil” menjadi “Mercedez”.

Merek yang kuat umumnya lebih tahan banting dibandingkan produk biasa atau tak bermerek dan lebih mudah pulih seperti sediakala setelah dilanda krisis. Hal itu dibuktikan dengan kinerja AQUA yang dengan cepat pulih setelah dilanda krisis moneter pada 1997-1998 dan ketika menghadapi persaingan air minum isi ulang pada 2003.

Selain itu merek yang kuat selalu lebih diuntungkan karena lebih tahan lama di pasar. Leo Burnett (1891-1971) , pendiri perusahaan periklanan dengan nama yang sama pernah dicatat majalah Time sebagai Titan Periklanan Abad ke-20. Ia dikenal dengan reputasinya sebagai jagoan “penggagas iklan yang tahan lama”. Iklan Marlboro Man ciptaannya tahun 1954, misalnya, tetap bertahan hingga saat ini .

Di sinilah kekuatan merek berbicara. Sekali sebuah merek meraih kekuatan relevan dan perhatian konsumen, hal itu merupakan benteng yang kokoh untuk menghadapi pesaing baru sekalipun mereka memiliki produk yang superior dan lebih murah.

Marlboro, misalnya, mampu lolos dari serbuan sigaret generik yang dijual dengan separo harga pada pertengahan 1990-an karena memiliki merek kuat dan pelanggan yang loyal. Peristiwa itu terkenal dengan sebutan Marlboro Friday.

Namun, meskipun konsistensi dibutuhkan, sebuah merek yang tetap saja statis menyimpan bahaya akan ditinggalkan konsumen bila gagal mengikuti perubahan zaman akibat perubahan prioritas pelanggan dan persaingan. Mobil Oldsmobile, kedai kopi Maxwell House dan maskapai penerbangan United Airlines di AS mengalami kemerosotan penjualan karena mereka tetap berdiri di tempat sementara pelanggan telah memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda.

Kalimat positioning United Airlines yang berbunyi “ Fly the friendly skies of United”, misalnya, mungkin bekerja baik pada kurun waktu 1970-an hingga 1980-an ketika keamanan --- yang diwakili oleh kalimat “friendly skies” --- dihargai tinggi sekali oleh para pelancong. Namun, pesan tersebut menjadi ketinggalan zaman pada dasawarsa 1990-an ketika orang lebih peduli pada pelayanan yang ramah di pintu masuk, sajian makanan yang lebih baik serta ruang kabin yang lebih lapang. Sebagai akibatnya, pendapatan, laba serta pangsa pasar United Airlines pun menurun tajam.

Ketika maskapai penerbangan lain secara keseluruhan menikmati pertumbuhan hingga 18 persen antara 1990 dan 1998, United Airlines hanya meraih pertumbuhan sebesar 3 persen saja. Menanggapi perubahan perilaku konsumen itu, United Airlines kemudian memfokuskan investasi pada pembangunan merek terutama dengan membenahi jadwal penerbangan dan ruang duduk. Kalimat positioning pun disesuaikan dari “Friendly Skies” menjadi “United Rising” dan kemudian diganti lagi menjadi “ United for the better journey.”

Meski membiarkan merek tetap statis mengandung bahaya, melakukan inovasi juga tak kalah berisiko. Contoh terbaik adalah blunder yang dilakukan Coca-Cola pada tahun 1985. Ketika Coca-Cola mendapati bahwa hasil dari blind test menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen terutama kalangan muda lebih menyukai rasa Pepsi yang lebih manis ketimbang Coke. Maka Coca-Cola segera mengeluarkan cita rasa baru yang disebut New Coke meninggalkan formula lama Merchandise 7x. Munculnya produk baru itu menuai protes dari penggemar fanatik Coca-Cola sehingga perusahaan terpaksa mempertahankan produk lama dengan nama Coke Classic. Meski New Coke tetap eksis hingga saat ini dan di beberapa wilayah dinamakan sebagai Coke II tetapi pangsa pasarnya tetap saja kecil. Hasil blind test sesungguhnya hanya mengecohkan saja, sebab dalam kenyataannya kalangan muda tidak peduli dengan rasa asli Coke karena hal itu sudah dianggap sebagai warisan emosional dari cita rasa Coca-Cola.

Pergeseran tuntutan juga terjadi di kalangan konsumen. Dulu konsumen hanya menuntut manfaat fungsional dari suatu produk. Produsen air minum dalam kemasan dulu hanya perlu menjual atribut fungsionalnya berupa kemurnian dan kandungan mineral. Kini tuntutan konsumen lebih tinggi lagi yakni lebih kepada manfaat emosional.

Akibat pergeseran perilaku konsumen itu, maka dua raksasa produk minuman dunia, Coca-Cola dan Pepsi, berpendapat bahwa mengambil margin rendah dalam air minum dalam kemasan hanya akan menganibalisasi keuntungan mereka di bisnis minuman ringan. Dan Coke, yang selama ini ahli dalam memainkan tema emosional, tidak diragukan lagi menggunakan atribut emosional untuk menjajakan produknya. Oleh karena itu, tema iklan produk air minum dalam kemasan Dasani milik Coke di AS membawakan tema “Hidup Menjadi Lebih Sederhana” (Life Simplified).

Coke sendiri diketahui memiliki koleksi beragam merek air minum dalam kemasan di berbagai negara. Di Eropa ada Bonaqua, di Australia ada Pump, di Thailand ada Namitha, Aquarius di Malaysia, Soon So di Korea dan mengakuisisi Ades, merek AMDK nomor dua di Indonesia, setelah gagal membangun merek sendiri yang dinamakan Bonaqa.

Sementara, AQUA mengalami perubahan tag line dari masa ke masa. Mula-mula pada 1974 AQUA memiliki tag line “Pure Artesian Well Water” Kemudian berubah menjadi “Bersih, bening dan bebas bakteri”. Pada 1985 tag line berubah lagi menjadi “AQUA Sehat Setiap Saat” (“Healthy Water in Every Occasion”). Dan akhirnya berubah lagi menjadi “AQUA Sehatnya Nyata” pada tahun 2000.

Agaknya diperlukan kehati-hatian ekstra untuk tetap mempertahan eksistensi merek di pasar, baik dengan melakukan langkah yang konsisten maupun melalui inovasi. Perubahan selera pasar dan perilaku pelanggan tetap harus diikuti agar merek tetap eksis di pasar.

Ada sebuah model bagus dari konsultan merek bernama Burke yang mampu menjelaskan hubungan antara Value (nilai) dan Loyalty (kesetiaan) dengan Brand Image (Citra Merek ) sebagaimana tertera di bawah ini :

Agar dapat memahami persoalan tersebut dengan jelas akan diuraikan pengertian tentang brand image dan brand equity.

Apakah yang dimaksud dengan brand image? Pada dasarnya brand image merupakan suatu pandangan atau tanggapan konsumen terhadap suatu merek. Image yang tumbuh bisa ke arah positif dan ke arah negatif. Image akan tumbuh setelah konsumen melihat dan merasakan kualitas dan jasa yang menyertai suatu produk. Menurut David A. Aaker, pengajar strategi pemasaan di Universitas Kalifornia Berkeley yang disebut brand image sebenarnya tak lain adalah asosiasi merek(brand association).

Terdapat ribuan merek yang berebut masuk ke dalam pikiran konsumen. Tidak semuanya berhasil karena konsumen memiliki saringan yang disebut selective selection, yang berarti konsumen memberikan perhatian pada merek secara selektif. Agar mendapat perhatian, perusahaan perlu mengaitkan merek dengan sesuatu yang dikenal konsumen, atau yang menarik bagi mereka. Inilah yang dinamakan asosiasi merek (brand association).


Menurut Aaker (1996) ada sebelas sumber asosiasi produk, yakni (1) atribut produk, (2) hal-hal tidak nyata (intangible) dalam produk, (3) manfaat produk bagi pelanggan (customer benefit), (4) harga relatif (relative price), (5) penggunaan (application), (6) pemakai/pelanggan (user or customer), (7) selebriti/seseorang, (8) gaya hidup / kepribadian, (9) kelas produk, (10) pesaing dan (11) negara / area geografis.


Merek yang kuat dicerminkan oleh kesadaran merek (brand awareness) yang tinggi serta asosiasi merek (brand association) yang kuat dan positif (Paul Temporal, 2000). Sedangkan David L. Loudon (2000) mengatakan bahwa kuncinya adalah brand image (citra merek) yang kuat. Sebagai bagian brand image muncul asosiasi merek (brand association) dan kepribadian merek (brand personality). Sedangkan, Aaker dalam bukunya Building Strong Brands (1996) menyatakan bahwa merek yang berhasil perlu memiliki kepribadian kuat yang menurutnya merupakan bagian dari asosiasi merek.

Merek bisa ada dan hidup kalau konsumen sudah memiliki gambaran merek yang jelas dan dipercaya. Singkatnya, kalau merek sudah memiliki posisi merek (brand position).

Posisi merek (brand position) adalah citra merek (brand image) yang jelas, berbeda dan unggul secara relatif dibandingkan pesaing (Kotler, 2001). Brand image akan menjadi posisi merek kalau sudah memenuhi syarat-syarat tadi : jelas, berbeda dan unggul. Kalau belum memenuhi kriteria tersebut, jadi belum jelas, tidak berbeda atau tidak unggul maka citra merek itu belum bisa disebut sebagai posisi merek.

Suatu brand image dibangun dengan menciptakan citra dari suatu produk. Konsumen bersedia membayar lebih tinggi karena menganggapnya berbeda karena merek ini dipersepsikan memancarkan asosiasi dan citra tertentu. Para perancang brand image berusaha memenuhi hasrat konsumen untuk menjadi bagian dari kelompok sosial yang lebih besar, dipandang terhormat oleh orang lain, atau untuk mendefinisikan diri menurut citra yang diinginkannya.

Pada umumnya brand image diciptakan pada kategori-kategori produk dimana kualitas produk sulit dievaluasi (misalnya untuk wine atau jasa konsultasi medis) dan di mana konsumsi produk ini terlihat jelas oleh orang lain (seperti mobil, sepatu atau baju).

Brand Image menjadi pilihan pada saat persaingan sudah mencapai taraf di mana produk-produk yang ditawarkan sudah tidak lagi memiliki perbedaan yang berarti. Contohnya di pasar otomotif, mobil-mobil yang ditawarkan dapat dikatakan memiliki kualitas yang hampir sama baik dari segi kehandalan mesin maupun tampilan ekterior dan interiornya. Jika produsen tidak memberikan nilai tambah maka secara umum harga mobil akan turun. Perlu diingat bahwa strategi brand image dapat ditempuh jika kualitas produk sudah mengalami paritas.

Sementara itu, ekuitas merek menurut Aaker (1991) adalah seperangkat aset atau liabilitas merek yang berkaitan dengan merek, nama dan simbolnya yang dapat menambah atau mengurangi nilai yang diberikan barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan. Bila positif ekuitas merek dapat menjadi aset, sementara bila negatif akan menjadi kewajiban (liabilitas). Ekuitas merek bersumber pada lima komponen yakni kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas (perceived quality), loyalitas merek (brand loyalty) dan aset-aset merek lainnya seperti hak paten , rahasia teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap pemasok ataupun pasar dan lain-lain.

Hermawan Kartajaya dalam Marketing Plus 2000 menyebut pemimpin pasar adalah mereka yang menguasai dominasi dalam hal market share / pangsa pasar pelanggan (melalui Taktik: Diferensiasi, Marketing Mix dan Selling), dalam hal mind share / penguasaan pangsa pikiran pelanggan (melalui Strategi : Segmentasi, Targeting dan Positioning) dan dalam hal heart share / penguasaan pangsa hati pelanggan ( melalui Value : Brand, Process, Service).

Jadi pemimpin pasar yang ideal adalah mereka yang mampu mendominasi tidak saja pangsa pasar ( dominance in market share) tetapi juga mendominasi benak pelanggan (dominance in mind share) dan hati pelanggan (dominance in heart share). ***

No comments: