Wednesday, December 6, 2006

SANG PROFESIONAL MELANGKAH LAGI

Oleh Ari Satriyo Wibowo
Selama bertahun-tahun AQUA berhasil membuktikan dirinya sebagai merek yang kuat.Bahkan, Willy Sidharta berhasil mencetak nilai perusahaan melambung jauh di atas nilai riil asetnya. Apa saja yang telah dilakukannya untuk AQUA? Kemana Willy hendak melangkah lagi?

Temuan The Indonesian Best Brand Survey 2006 menunjukkan bahwa AQUA tampil sangat dominan dan terus mempertahankan posisinya sebagai merek terbaik dalam kategori air minum dalam kemasan (AMDK). Indeks rata-rata Best Brand 2006 adalah 16,5. Adapun nilai Brand Value 2006 mencapai 460,7 yang merupakan akumulasi dari nilai TOM Ad ( 92,9), TOM Brand (92,0), Brand Share (92,7), Satisfaction (99,3) dan Gain Index (1,1).

Angka tersebut meningkat dibandingkan Brand Value 2005 sebesar 439 meski agak menurun dibandingkan hasil Brand Value 2004 yang mencapai 609,7.

Sementara Brand Value para pesaing terdekatnya pada 2006 sungguh sangat kecil dibandingkan yang diraih AQUA yakni Club (9,1), VIT (7,2), Ades (5,6) dan Total (2,4). Hal itu membuktikan bahwa AQUA sungguh merupakan merek yang sangat kuat serta memiliki nilai jual yang tinggi.

Bagaimana AQUA menjadi merek yang kuat tidak dapat dilepaskan dari dua nama yang telah dengan sungguh-sungguh membangun dan membesarkannya. Pertama, tentu saja sosok Tirto Utomo yang menjadi pionir sekaligus pendiri bisnis air minum dalam kemasan di Indonesia. Kedua, Willy Sidharta sosok profesional yang ikut membangun pabrik AQUA pertama di Bekasi tahun 1973 . Ia bekerja di AQUA pada umur 27 tahun sebagai supervisor pembangunan pabrik Bekasi dengan gaji awal Rp 25.000,- per bulan.

Setelah pembangunan selesai, Willy diangkat sebagai kepala pabrik itu, sekaligus tinggal disamping pabrik dari tahun 1974 hingga 1980. Ia kemudian dipromosikan menjadi direktur pada 1979. Puncaknya, pada 1987, Willy didaulat sebagai presdir.

Ia tidak hanya terlibat pembangunan pabrik tetapi juga dengan cepat belajar memahami proses produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Jebolan fakultas teknik mesin Unika Atmajaya, Pasuruan itu dengan cepat mempelajari teknologi air mineral, distribusi, pemasaran dan penjualannya. Hampir semua aspek dikuasainya termasuk teknologi kemasan dan daur ulang botol bekasnya.

Selama berkutat di PT AQUA Golden Mississippi kepiawaian Willy Sidharta menangani industri AMDK dari hulu sampai hilir tak perlu diragukan lagi. Semua tahapan dalam dalam industri, dari pencarian lokasi pabrik, penentuan mesin yang akan digunakan, pembuatan botol kemasan, uji mutu dan menjaga kualitas, penangangan botol bekas sampai distribusi dan pemasaran, pernah dijalaninya. Ia juga tahu persis data potensi pasar, peta persaingan, atau pun prospek industri AMDK.

Di bawah komando Willy, bisnis AGM terus berkembang, termasuk pengembangan sejumlah perusahaan join ventura dengan investor lokal, seperti di Sukabumi, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi.

Setelah 33 tahun berkarir di AQUA sebagai profesional, Willy Sidharta tidak mampu lagi membendung hasratnya untuk membangun bisnis sendiri. Jabatan Presiden Direktur PT AQUA Golden Mississippi,Tbk (AGM) yang sudah dijabatnya selama 19 tahun dirasakannya sudah lebih dari cukup. Bahkan, terhitung mulai 1 Juni 2006, Willy Sidharta sudah melepaskan jabatannya sebagai VP Industrial PT Tirta Investama, holding company dari perusahaan AMDK tersebut. Baginya saat untuk berpisah pun akhirnya tiba.“Sudah menjadi cita-cita saya untuk dapat memiliki usaha sendiri pada umur 60 tahun,” tandas pria yang telah menjadi kakek dari satu cucu itu.

Tetapi, meski mengaku sudah mengajukan pengunduran diri sejak 19 Juni 2006, Willy hingga saat ini memang masih menjabat Presdir AGM karena belum ada penggantinya. “Saat ini saya masih menjabat Presiden Direktur Aqua, karena belum ada penggantinya. Tetapi, posisi VP Operasional di PT Tirta Investama (holding), sejak Maret lalu sudah terisi,” ucapnya.

Adapun bisnis baru yang disiapkan Willy itu ternyata masih berkaitan dengan air minum, yakni bisnis pengemasan untuk air minum dalam kemasan (AMDK). “Dalam hidup, kita harus mempunyai target. Saya pernah berjanji pada diri sendiri dan keluarga bahwa pada usia 60 tahun akan mengundurkan diri sebagai profesional dan akan mengembangkan usaha sendiri,” ungkap Willy, yang pada 10 November nanti genap berusia 60 tahun. Soal mengapa memilih bisnis kemasan, ia menyebutkan harus mengukur keahlian yang dimiliki. “Saya sudah bergelut lama di industri kemasan, sehingga memiliki modal pengalaman. Lagi pula, kalau harus mengembangkan bisnis yang betul-betul baru, saya harus belajar lagi. Itu akan memakan waktu lama dan risiko tinggi, sehingga memakan biaya lebih besar,” paparnya jujur.

Untuk mengembangkan bisnis kemasan ini Willy tidak sendirian, melainkan bermitra dengan tiga orang pengusaha kemasan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komposisi kepemilikan sahamnya sama, yakni masing-masing 25%. Pada Oktober 2005 mereka telah sepakat membentuk PT Mitra Sentosa Plastik Industri (MSPI). Namun, pembangunan pabriknya baru dilakukan pada Maret 2006. Berlokasi di Semarang, pabrik seluas 5.200 m2 itu dibangun di atas lahan 1,4 hektare. Sebagai bisnis padat modal, investasi yang dibenamkan pun cukup besar. Untuk investasi awal telah digelontorkan Rp 40 miliar, yang digunakan untuk membangun pabrik dan membeli satu unit mesin pembuat kemasan dari Jerman. “Untuk permodalan merupakan gabungan dari modal sendiri, sebagian pinjaman pemegang saham yang tidak berupa modal disetor, dan pinjaman dari bank,” ungkap Willy, yang akan menjabat presdir di perusahaan barunya itu. Adapun break even point ditargetkan dalam lima tahun ke depan.

Dijelaskan Willy, nantinya pabrik seluas itu bisa menampung 6 mesin. Hingga akhir tahun ini ditargetkan MSPI sudah bisa memiliki tiga unit mesin. Ini sesuai dengan peruntukan produk yang akan dihasilkan, yakni kemasan kap (cup), tutup botol dan sedotan (stroll). Satu mesin pembuat kap yang didukung sekitar 80 orang, diperkirakan mampu memproduksi 80 ribu kap per jam, atau 55 juta kap per bulan. “Awal November tahun ini, ditargetkan sudah bisa memproduksi 40%-50% dari kapasitas produksi,” kata Willy.

Menurut Willy, nantinya kemasan yang diproduksi MSPI akan dipasok ke semua level perusahaan AMDK, baik besar maupun kecil. Pertimbangannya, perusahaan besar memang punya volume pemakaian tinggi, tapi pembayarannya kerap terlambat hingga dua bulan. Sementara perusahaan kecil, walaupun ordernya sedikit, pembayarannya sudah dilakukan di muka. Ia mengklaim, saat ini beberapa perusahaan AMDK sudah bersedia mengorder, seperti Club di Ja-Tim, dan Vit (milik AGM).

Walaupun pertumbuhan bisnis AMDK diperkirakan tidak bakal sampai 10%, Willy optimistis bisnis kemasannya bisa berkembang. Pasalnya, ia mengklaim produknya memiliki beberapa keunggulan. Antara lain, memiliki life-weight lebih rendah dibandingkan dengan produk kompetitor. Jika produk lain umumnya memiliki berat 4-4,5 gram, produk kemasan buatan MSPI hanya 3,2 gram. Selain itu, lanjut Willy, nantinya kemasan yang diproduksi pihaknya akan memiliki desain yang spesifik dan bisa dikustomasi (customize) sesuai dengan permintaan. “Dengan life-weight yang lebih rendah pun, harga yang kami tawarkan akan lebih murah dibandingkan dengan produk lain,” ia menegaskan. Jika harga pasaran sekarang Rp 90-100 per kap, pihaknya berani menjual Rp 80 per kap.

Bapak dua anak ini punya obsesi mengembangkan MSPI menjadi perusahaan one stop shopping provider untuk kemasan produk makanan dan minuman (F&B). Jadi, dalam bayangannya sebuah perusahaan bisa membeli botol dan tutupnya, kap dan tutupnya, sedotan, dan sebagainya, cukup dari MSPI, tidak perlu lagi mengorder ke empat-lima perusahaan pemasok. Selain itu, walaupun produk kemasan ini bukan untuk end user, Willy berkeinginan produknya itu nanti akan memiliki merek. “Saya melihat suatu opportunity yang besar di bisnis kemasan seiring perkembangan bisnis F&B yang sangat dinamis,” katanya bersemangat.

Di usianya yang telah genap 60 tahun pada 10 November 2006 dianggapnya sebagai waktu yang tepat untuk “melangkah lagi” untuk mewujudkan impian-impian pribadinya. Pertama, karena AQUA kini telah memiliki manajemen yang kokoh di bawah pengelolaan Danone. Kedua, peluang AQUA untuk meraih prestasi lebih baik terbuka lebar di bawah manajemen yang bagus. Ketiga, Willy Sidharta masih dalam usia yang produktif untuk berkarya. Selain itu , mengapa ia memilih pensiun dari AQUA setelah bekerja selama 33 tahun tidak lain agar dapat melampui prestasi yang diraih sang mertua. Pak Dharmawan, ayah dari Theresia Ratihningsih Dharmawan, istrinya, pensiun setelah mengarungi masa kerja 32 di Kelompok Roda Mas.

Sepanjang masa karirnya, setidaknya dua kali Willy Sidharta pernah memiliki keinginan untuk berhenti. Pertama, pada 1978 ketika Tirto Utomo mencurigainya tidak beres dalam bekerja. Ternyata kecurigaan itu tidak terbukti sehingga Willy malahan dipromosikan menjadi direktur pada 1979. Kedua, pada 1994 ketika Tirto Utomo wafat dan pihak keluarga bermaksud menunjuk orang lain untuk memimpin AQUA.

Namun, idealisme yang kuat untuk menjadikan AQUA yang terbaik dan terbesar telah menghalangi niatnya untuk mundur dari AQUA. Tercatat pada 1996 Willy mencanangkan untuk meraih angka penjualan 2 miliar liter pada tahun 2000 dan sekali lagi pada 1999 untuk mencapai angka penjualan 5 miliar liter pada 2005. Syukurlah, sasaran itu akhirnya tercapai dan berhasil menempatkan AQUA sebagai produsen AMDK terbesar di dunia dalam hal volume produksi.

Selama tiga dasawarsa tubuhnya tidak banyak mengalami perubahan. Ketika masuk berat badannya 57 kg kini menjadi 65 kg. Ia tetap ceria dan berbahagia bersama istrinya, Theresia Ratihningsih Dharmawan (Lanny). Dialah pendamping kedua Willy setelah istri pertamanya, Catharina Maria Martha Dewi meninggal dunia pada 1992 saat sedang menjalani operasi pembedahan empedu.

Banyak yang mengatakan Willy Sidharta seorang gila kerja atau workaholic. Benarkah demikian? Mungkin tidak salah. Yang terang Willy sangat bergairah belajar. Ia selalu ingin mengetahui berbagai hal secermat-cermatnya. Tidak mengherankan bila karirnya melesat denan cepat. Bila pada waktu bergabung di AQUA pada 1973 ia menjabat supervisor pembangunan pabrik, kepala pabrik pada 1974, direktur pada 1979 maka pada tahun 1987 ia sudah dipercaya Tirto Utomo untuk menjabat Presiden Direktur PT AQUA Golden Mississippi. Ia menjadi Presiden Direktur keempat setelah Slamet Utomo, Sindhu Kamarga dan Ridwan Hadikusuma.

Sebagai orang keempat yang memegang jabatan itu, Willy Sidharta sekaligus mematahkan mitos dalam numerologi Tiongkok bahwa angka empat berarti mati. Bukannya mati atau mengalami kegagalan, Willy malahan mampu mempertahankan jabatan itu selama hampir dua dasawarsa.

Selama masa yang panjang tersebut Willy meskipun mengaku tidak punya hobi olahraga, kesehatannya selalu dapat dibilang prima. Tubuhnya selalu tampak ramping, lincah dan awet muda. Apa rahasianya? Willy mengaku banyak berjalan. Ia naik turun tangga, masuk dan mengunjungi berbagai tempat karyawan maupun direksi lainnya. Kalau ada orang yang paling banyak dikenal warga AQUA selain Ibu Lisa Tirto Utomo pastilah Willy Sidharta.

Ia juga merupakan tangan kanan Tirto Utomo di bidang operasional, serta melanjutkan cita-cita Tirto Utomo untuk mempertahankan AQUA sebagai pemimpin pasar AMDK di Indonesia.

Keduanya adalah tipikal CEO (Chief Executive Officer) yang mengibarkan dirinya menjadi besar dan mampu mempertahankan kehebatan tersebut dalam tempo cukup lama. Ternyata profil yang dimiliki keduanya sangat mirip dengan yang disebutkan Jim Collins dalam bukunya Good To Great (2001) yakni rendah hati tetapi memiliki tekad profesional yang besar. Derajat kebijakan mereka lebih mirip Abraham Lincoln dan Socrates ketimbang Jenderal George Patton dan Julius Caesar.

Kebanyakan orang menduga bahwa pemimpin yang hebat akan memulai sesuatu dari menetapkan visi atau strategi baru. Ternyata tidak, mereka memilih terlebih dulu orang yang cocok dan menaruhnya di posisi yang tepat baru kemudian menentukan arah yang hendak dituju.

Mereka yakin bahwa pada akhirnya akan sukses tidak peduli seberapa besar kesulitan yang dihadapi dan pada saat yang berani menghadapi kenyataan terpahit sekalipun. Pada 1978, setelah lima tahun beroperasi, Tirto Utomo sudah berniat menutup usahanya karena belum juga balik modal dan harus menombok melulu. Ketika diputuskan untuk menaikkan harga sampai tiga kali lipat --- keajaiban terjadi ---- omset perusahaan justru meningkat. Selamatlah AQUA dari kebangkrutan.

Hanya karena sesuatu telah menjadi bisnis inti yang telah dilakukan bertahun-tahun bukan berarti perusahaan bisa menjadi yang terbaik dalam bisnis tersebut. Dan kalau tak dapat menjadi yang terbaik dalam bisnis inti berarti bisnis tersebut tak dapat menjadi basis untuk mengibarkan diri sebagai perusahaan hebat. Pada 1981 berkat adanya ancaman intrusi air laut maka AQUA menetapkan visi baru bukan sebagai produsen air minum artesian well water melainkan mountain spring water.

Semua perusahaan memiliki budaya, beberapa memiliki disiplin, tetapi hanya segelintir yang punya budaya disiplin. Jika memiliki sumber daya manusia (SDM) yang disiplin, tak diperlukan hirarki. Kalau punya pemikiran yang disiplin, tidak diperlukan birokrasi. Dengan adanya disiplin tidak diperlukan kontrol yang berlebihan. Kombinasikan budaya disiplin tersebut dengan etos kewirausahaan dan ini merupakan ramuan ajaib untuk kinerja yang hebat. Tirto Utomo selalu menantang generasi muda untuk menjadi wirausahawan dengan menceritakan pengalamannya bertemu pemuda yang menjadi sopir angkutan minuman 5 galon di AS.

Keduanya juga memanfaatkan teknologi sebagai akselerator. Perusahaan yang hebat tak menggunakan teknologi sebagai pemicu transformasi. Tetapi mereka berani menjadi pioner penggunaan teknologi yang dipilih secara hati-hati. Adalah AQUA yang menjadi pelopor kemasan gelas plastik (cup) di dunia sehingga kini menjadi standar industri. AQUA pula yang memelopori peralihan dari PVC ke PET. Dan AQUA pula yang memelopori konsep fully integrated manufacturing yang memungkinkan produksi terpadu air minum dan botol kemasannya mulai dari tingkat biji plastik.

Arie de Geuss dalam The Living Company menjabarkan resep agar sebuah perusahaan berumur panjang. Tirto Utomo mencoba mempraktikkannya di AQUA dan kemudian dilanjutkan Willy Sidharta paling tidak sampai ia pensiun pada pertengahan 2006. Buktinya perusahaan itu tetap berdiri kokoh sebagai pemimpin pasar di bisnis AMDK sekaligus menjadi produsen terbesar dengan kapasitas produksi lebih dari 5 miliar liter per tahun pada 2006.

Menurut Arie di Geus, perusahaan-perusahaan besar yang masuk dalam daftar Fortune 500 rata-rata hanya memiliki kurun hidup yang pendek, yakni antara 40-50 tahun. Sedangkan perusahaan panjang umur (long lived company) --- berusia di atas satu abad --- sangat sedikit. Di antaranya Stora dari Swedia, Mitsui dan Matsushita dari Jepang, Unilever dan Royal Dutch Shell dari Belanda serta GE dan Kodak dari Amerika. Di Indonesia praktis belum ada perusahaan yang setua itu, paling hanya Nyonya Meneer atau AJB Bumiputera yang sama-sama berdiri tahun 1912 dan Jamu Jago pada 1918.

Studi Ari de Geus menunjukkan bukti tentang rahasia organisasi bisnis panjang umur yang memiliki empat ciri, yaitu :

Perusahaan panjang umur sensitif terhadap lingkungan. Intinya mereka harmonis dan relevan dengan lingkungan di mana mereka beroperasi. Mereka ramah lingkungan dalam arti luas. Mereka selalu belajar dan beradaptasi secara damai dengan dunia tempat mereka tinggal. Program Peduli AQUA lahir dari komitmen untuk menjadikan AQUA perusahaan yang ramah lingkungan.

Perusahaan panjang umur bersifat kohesif yang diikat oleh nilai-nilai bersama yang benar dan fundamental serta memiliki identitas yang khas. Nilai-nilai bersama yang semasa hidup Tirto Utomo disampaikan secara lisan berhasil dituangkan Willy Sidharta menjadi AQUA Core Values dalam bentuk tertulis pada 1999.

Perusahaan panjang umur bersikap toleran, tidak memaksakan kehendak pusat, berbagi kekuasaan dengan eselon bawah dan mempraktikkan desentralisasi.

Perusahaan panjang berumur bersikap konservatif dalam hal keuangan. Maksudnya sangat hati-hati dalam pengeluaran dan investasi. Mereka berpantang overspending dan overinvestment, apalagi berutang. Hal itu terbukti ketika Tirto Utomo sengaja menunjuk John Abdi, mantan teman karibnya semasa di Pertamina untuk menjadi Direktur Keuangan AQUA. Berkat sikapnya yang konservatif di bidang keuangan, AQUA selamat selama krisis keuangan melanda Indonesia 1997-1998, karena tidak terjerumus dalam utang dalam bentuk mata uang dollar AS yang sebelumnya begitu jor-joran ditawarkan ke dunia bisnis Indonesia.


Di dunia bisnis, salah satu agen perubahan yang paling fenomenal adalah Jack Welch yang memimpin GE dari tahun 1981-2001. Di bawah kepemimpinannya GE mampu meningkatkan pendapatan dari US$ 1,6 miliar menjadi US$ 10.7 miliar. Di samping itu, GE pun meraih kapitalisasi pasar dari US$ 13 miliar menjadi lebih dari US$ 500 miliar. Itulah sebabnya selama bertahun-tahun GE selalu masuk dalam peringkat lima besar perusahaan versi Fortune 500.

Berubah atau mati. Begitu pesan Jack Welch ketika menyusun perubahan pada 1981. GE yang didirikan penemu lampu pijar Thomas Alva Edison tahun 1878 adalah perusahaan yang paling dikagumi di AS. Perusahaan satu generasi dengannya sudah banyak yang rontok dan gulung tikar di tengah jalan. Tetapi , GE tetap kukuh berdiri. Sayangnya, hal tersebut malahan membuat manajemen GE lupa diri dan kehilangan kewaspadaan. Tak ada yang berpikir bahwa GE perlu berbenah diri. Malahan, sebenarnya bukan sekadar berbenah, melainkan harus berubah secara radikal.

Saat itu, Jack Welch menyaksikan GE telah terjerat ke dalam sistem yang kaku dalam peninjauan dan persetujuan formal, penundaan keputusan serta menolak akal sehat. Akibatnya, GE lamban dalam membawa produk barunya ke pasar. Mayoritas manajemen GE telah menganggap birokrasi sebagai seni balet. Alhasil tanpa disadari GE menjadi perusahaan yang menua. Tinggal menunggu ajal. Ketika pada masa itu perusahaan Jepang mampu meningkatkan produktivitas hingga 8 %, GE malahan jarang mencapai 1,5 %.

Tirto Utomo dan Willy Sidharta juga merupakan agen perubahan yang hebat. Volume produksi AQUA terus meningkat. Selama kurun 1973-1980 volume produksi berhasil ditingkatkan dari seperempat juta liter per tahun menjadi 2,46 juta liter per tahun. Kemudian pada 1981-1985 berhasil ditingkatkan lagi menjadi 15 kali lipat dari 2,46 juta liter menjadi 38,23 juta liter. Kurun berikutnya 1986-1990 volume melonjak 15 kali lipat dari 38,23 juta liter menjadi 188,7 juta liter. Lalu pada periode 1991-1995 produksinya melejit 3,6 kali lipat dari 188,7 juta liter menjadi 689,07 juta liter.

Prestasinya luar biasa diraih selam kurun 1996-2000 di mana Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi pada 1997-1998. Volume produksi AQUA di masa tersebut tetap meningkat 2,6 kali lipat dari 689,07 juta liter menjadi 1,777 miliar liter. Prestasi yang sama diulangi selama periode 2001-2005 dari 1,777 miliar liter menjadi 4,7 miliar liter per tahun. Dengan kapasitas produksi sebesar itu maka AQUA secara volume merupakan produsen AMDK dengan produksi terbesar di dunia.

Menurut pengajar manajemen pada Universitas Kalifornia Los Angeles (UCLA), Ichak Adizes, yang sekaligus pengarang buku Corporate Lifecycles (1988), penuaan organisasi biasa terjadi jika organisasi telah mencapai tahap bureaucracy. Willy Sidharta berhasil membuat AQUA tetap awet muda dan tidak terjerumus dalam birokrasi sehingga mampu meraih keuntungan yang signifikan.

Adalah Willy Sidharta yang memberikan sentuhan terhadap AQUA sepeninggal Tirto Utomo sehingga perusahaan itu layak disebut sebagai visionary companies ketimbang entrepreneurial company. Andaikata, Tito Utomo tidak wafat pada 1994 kemungkinan ceritanya akan lain.

Hal itu mengingatkan pada buku karya James C. Collins dan Jerry I. Porras lainnya yang berjudul Built To Last (1997). Buku itu pada intinya berkisah tentang visionary companies. Dua penulis tersebut membeberkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki nama besar pun pernah mengalami masa-masa sulit dan nyaris bangkrut. AQUA pernah nyaris bangkrut pada tahun 1978 karena selama hamper lima tahun beroperasi belum juga meraih titik impas. AQUA juga mengalami masa-masa sulit setelah ditinggal Tirto Utomo antara 1994 dan 1996, antara 1998 dan 1999 ketika menghadapi krisis ekonomi serta pada 2003 saat menghadapi gempuran air minum isi ulang.

Menurut Collins dan Porras dalam jangka panjang, kemenangan akhirnya diraih perusahaan visionary ketimbang perusahaan entrepreneurial yang meraih sukses di awal perintisan usaha. Agar bervisi, menurut keduanya, perusahaan mesti membangun core ideology yang benar yakni memiliki core values dan purpose. Yang pertama merupakan prinsip-prinsip panduan umum, sedangkan purpose lebih merupakan alasan keberadaan perusahaan selain menciptakan laba. Core values baru digali kembali Willy Sidharta dengan timnya pada 1998, empat tahun setelah Tirto Utomo wafat. Dan hasilnya baru dapat disampaikan pada tahun 1999.

Contoh-contoh tentang keberadaan perusahaan visionary itu sudah cukup banyak. Walt Disney menghadapi masalah aliran kas serius pada 1939, sehingga terpaksa harus terjun ke bursa untuk mencari dana segar. Dan perusahaan itu kembali dihantam masalah besar pada 1980-an. Boeing pada 1930-an, akhir 1940, dan awal 70-an mengalami kesulitan tatakala mereka terpaksa mem-PHK tak kurang 60.000 karyawannya. Begitu pun 3M yang mengalami kegagalan di awal bisnisnya di bidang pertambangan. Bisnis 3M nyaris bangkrut di awal 1900-an. Hewlett Packard pun menghadapi pengurangan produksi pada 1945 dan pada 1990. Harga sahamnya jatuh di bawah nilai buku. Sony mengalami kegagalan produk selama lima tahun pertama terjun ke dunia bisnis. Lalu, pada 1970-an, Sony kembali gagal memasarkan format Beta dalam pertarungan dengan VHS di pasar kaset video rekaman. Adapun Ford mencatat kerugain terbesar sepanjang sejarah bisnis di AS, sebesar US$ 3,3 miliar dalam tiga tahun di awal 1980-an.Citicorp dilanda kerugian di masa depresi 1930-an dan menghadapi masalah di tahun 1980-an ketika berhadapan dengan portofolio utang global. Begitu pula IBM, nyaris bangkrut pada 1914 dan 1921 serta menghadapi masalah pelik di awal 1990-an.

Jadi, kendati disebut visionary company, mereka pernah mengalami kemunduran. Namun, mereka juga menunjukkan kehebatannya dengan bangkit kembali keluar dari krisis.

Visionary companies bukan sekadar memberikan keuntungan, tetapi juga mampu mengubah dunia. Coba bayangkan jika dunia tanpa lampu pijar yang ditemukan Thomas Alva Edison melalui General Electric, tanpa pesawat Boeing, tanpa kartu kredit Amex, tanpa mesin ATM yang dirintis Citibank, tanpa laser printer buatan HP, tanpa handphone buatan Motorola, tanpa Post-It buatan 3M dan tanpa Walkman buatan Sony. Hiburan anak-anak pun akan “berkurang banyak” tanpa adanya Mickey Mouse, Donald Duck dan Snow White ciptaan Disney. Dan orang Indonesia mungkin belum mengenal air minum dalam kemasan pada tahun 1980-an seandainya Tirto Utomo tidak memulainya tahun 1973.

Yang menarik , dari studi Collins dan Porras, perusahaan yang tergolong visionary itu memulai usahanya dari skala kecil. Procter & Gamble memulai bisnisnya dari dari produsen sabun sederhana di Cincinati 1837. Di Indonesia, keluarga Katuari (pendiri Grup Wings) mengawali bisnisnya sebagai grosir bahan-bahan kimia. Sekarang kelompok ini dikenal sebagai produsen toiletries yang amat diperhitungkan oleh pemain multinasional sekaliber Unilever. Demikian pula Tirto Utomo mulanya mengawali bisnis air mineral sekadar untuk melayani kalangan ekspatriat di Jakarta dengan bermodalkan Rp 150 juta setelah dikawal Willy Sidharta selama 33 tahun berhasil menjadi produsen AMDK terbesar di dunia dalam hal volume produksi.

Tirto Utomo sejatinya memang dilahirkan sebagai seorang pemimpin. Setiap pemimpin selalu memiliki visi. Seorang pemimpin, menurut pakar manajemen Ian Percy, diibaratkan mampu memprediksi berapa buah apel yang akan dihasilkan dari sebuah biji apel. Sementara itu, seorang manajer hanya pada level mampu menghitung berapa jumlah biji yang ada dalam sebuah apel.

Willy Sidharta semula hanyalah seorang manajer yang “belum mampu memprediksi berapa buah apel yang akan dihasilkan dari sebuah biji apel.” Namun, seiiring dengan berjalannya waktu jiwa kepemimpinannya makin matang hingga mampu mencapai taraf yang dimiliki pendahulunya, Tirto Utomo.

Bagi John P. Kotter, pengajar di Sekolah Bisnis Harvard, dalam buku A Force For Change : How Leadership Differs from Management seorang pemimpin tak cukup hanya memiliki visi. Ia harus menjabarkan visinya menjadi strategi. Selanjutnya, pemimpin perlu mengkomunikasikan pemikirannya kepada orang lain. Sesudah itu , ia perlu membentuk sebuah tim atau koalisi untuk mencapai tujuan. Akhirnya, sang pemimpin masih harus memberi motivasi dan inspirasi kepada tim kerjanya.

Sebagai manajer Willy Sidharta mengarahkan bawahannya untuk mewujudkan cita-cita organisasi. Sedangkan, sebagai pemimpin ia harus memotivasi konstituennya dengan memberikan kepuasan lahir batin kepada mereka. “Manajemen yang baik mampu mengontrol kompleksitas, pemimpin yang efektif menghasilkan perubahan yang bermanfaat,” urai Kotter dalam bukunya.

Dalam dua buah riset yang dilakukan di Amerika Serikat mengenai ciri-ciri pemimpin yang terpuji (admired leader) pada 1987 dan 1993 maka diperoleh 10 atribut penting yakni jujur (honest), berpandangan jauh ke depan (forward looking), mampu memberikan inspirasi (inspiring), memiliki kompetensi (competent), bersikap adil (fair minded), senantiasa memompa semangat (supportive), berpandangan luas (broad minded), memiliki kapasitas intelektual (intelegence), berbicara tanpa basa-basi (straightforward) dan pemberani (courageous). Apa makna dari riset tersebut? Bagi seorang pemimpin kejujuran merupakan faktor paling penting yang harus dimiliki agar banyak orang yang mengikutinya. Seseorang tidak pantas menjadi pemimpin bila tidak memiliki kejujuran.

Riset tersebut tertuang dalam buku pakar kepemimpinan terkemuka James Kouzes dan Barry Posner “Credibility: How Leader Gain and Lose It, Why People Demand It”.

Kredibilitas merupakan landasan sekaligus faktor penentu kepemimpinan. Itu merupakan semacam fondasi bagi pemimpin dan orang yang dipimpinnya untuk meraih impian besar yang menjadi cita-cita bersama di masa depan. Tanpa kredibilitas kepemimpinan tidak ada artinya dan hubungan yang terjalin antara pemimpin dan bawahannya menjadi porak poranda. Karena perannya yang sedemikian strategis tersebut dapat diibaratkan bahwa kredibilitas merupakan nyawa dari kepemimpinan.

Kredibilitas bersumber pada tiga dimensi kepemimpinan yakni kejujuran (honesty), kompetensi (competence) dan inspirasi (inspiration). Riset ekstensif yang dilakukan dua pakar dari Santa Clara University itu menyimpulkan bahwa setiap pemimpin bisnis top dunia pasti memiliki tiga karakter tersebut. Agar seorang pemimpin kredibel di mata para pengikutnya maka ia harus satu kata dan perbuatan dalam segala tindakan yang diambil. Ia juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin. Disamping itu, ia harus dinamis, antusias serta memiliki energi untuk menggerakkan dan menginspirasi seluruh pengikutnya.

Lebih lanjut dikatakan Kouzes dan Posner bahwa untuk membangun kredibilitas yakni kejujuran, kompetensi dan inspirasi dibutuhkan tiga fase proses yakni kejelasan (clarity), kesatuan (unity) dan intensitas (intensity).

Komitmen terhadap kredibilitas dimulai dari menciptakan kejelasan (clarity) mengenai kebutuhan, kepentingan, nilai-nilai bersama, visi, tujuan hingga aspirasi sang pemimpin bersama kontituennya. Ketika kejelasan itu ada, setiap orang di dalam organisasi akan memiliki prinsip arahan mengenai kemana organisasi akan dibawa. Di samping itu, dengan adanya kejelasan itu, setiap unsur organisasi juga akan tahu persis kunci keunggulan bersaing yang akan menjadi penentu sukses.

Selanjutnya, perlu dibangun kesatuan (unity) dari seluruh jajaran organisasi untuk mencapai titik yang akan dicapai. Pemimpin yang kredibel harus mampu membangun komunitas dengan shared vision dan shared value yang sama di tengah keragaman nilai, kepentingan, pandangan dan keyakinan yang ada di dalam organisasi. Terakhir, pemimpin perlu mengembangkan intensitas (intensity) yaitu kedekatan dan ikatan emosi antara pemimpin dan bawahannya.

Kesimpulannya, kejelasan dan kesatuan merupakan unsur esensial dalam membangun kredibilitas seorang pemimpin. Namun, itu saja belum cukup. Pemimpin memerlukan intensitas emosional agar seluruh jajaran organisasi memiliki kesungguhan dan sepenuh hati dalam mencapai visi, misi dan nilai-nilai organisasi. Yang mengesankan semua itu telah dipraktikkan oleh seorang Willy Sidharta dengan paripurna. Sungguh luar biasa. ***





No comments: