Friday, December 8, 2006

PERSAINGAN MEMICU PERTUMBUHAN

AQUA bisa menjadi besar akibat adanya persaingan. Berkat citra dan reputasi merek yang terjaga, suatu komoditas bisa menjadi produk premium bernilai tinggi dan diburu orang. Nilai perusahaan pun melambung jauh di atas nilai riil asetnya. Willy Sidharta membuktikannya melalui AQUA.

Setelah selama sekitar sepuluh tahun PT Golden Mississipppi malang melintang sendirian maka pesaing pun mulai bermunculan. Hal itu seiring dengan terjadinya krisis air bersih yang semakin menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.

Tidak mengherankan bila pada 1983, muncullah pesaing pertama AQUA dengan merek Oasis. Menyusul setahun kemudian pesaing kedua dengan merek VIT. Sesungguhnya, sejak tahun 1979 sudah ada pesaing lain dengan merek Aquarin, tetapi pemain ini tidak pernah bisa menggebrak pasar di Indonesia, sehingga keberadaannya tidak pernah dirasakan secara signifikan mengganggu pasar AQUA.

Namun, dua pemain yang muncul belakangan, Oasis dan VIT, langsung dapat dirasakan gerakannya di pasar. Apalagi latar belakang para pemegang sahamnya umumnya masih berafiliasi dengan para konglomerat tertentu pada masa itu. Oasis, misalnya, didukung Benyamin Soeryajaya, adik William Soeryajaya, pemilik kelompok Astra pada waktu itu sementara VIT didukung Johny Widjaya dan kawan-kawan dari kelompok Tiga Raksa yang dikenal kuat dalam hal distribusi.

Pada waktu itu, distribusi masih merupakan merupakan kendala besar. Jarak yang jauh ditambah dengan masih buruknya prasarana jalan seringkali menimbulkan kekosongan pasar atau out of stock sehingga tingkat pelayanan ke konsumen maupun ke agen sebagai pelanggan langsung sangat rendah sekali. Bahkan, pada saat terjadi masalah dengan pasokan air PAM di Surabaya pada tahun 1983 telah mengakibatkan konsumen berebut membeli AQUA ke kantor perwakilan atau ke agen-agen AQUA terdekat. Tidak hanya itu, di antara konsumen ada pula yang mencegat truk-truk AQUA di luar kota Surabaya agar mereka dapat memperoleh air bersih melalui produk AQUA.

Tirto Utomo dan Willy Sidharta akhirnya sepakat untuk membangun pabrik kedua AQUA di Jawa Timur pada 1984. Lokasinya di Pandaan sebuah daerah pegunungan di sebelah selatan Surabaya.

Setahun kemudian jumlah produsen AMDK telah meningkat menjadi 16 pemain. Mereka antara lain PT Santa Rosa Indonesia dengan merek Oasis, PT Central Arimon Ind dengan merek Aquaria, CV Gemeh Bali dengan merek Spring, PT Varia Industri Tirta dengan merek VIT, PT Mahardi Kunci Mas dengan merek Aquarius, PT Indo Drinks dengan merek Avi, PT Tirta Manik Cemerlang dengan merek Ocean, PT Alfindo Putra Setia dengan merek AdeS, PT Jaffar Utama dengan merek Jaffar, PT Sinar Sosro dengan merek Air Sosro, PT Ultra Jaya Milk Indonesia dengan merek Eversafe, PT Bintang Abadi Jaya dengan merek Snow, Cap Singa dengan merek Singa, PT Polarindo Mas dengan merek Equator dan PT Rino Internasional Co. dengan merek Moya, Natural, Sipp dan Bell. Di antara para pemain baru tersebut yang paling mengancam AQUA adalah AdeS yang kermudian menjadi pemain AMDK nomor dua terbesar di Indonesia.

Untuk menghindari adanya kejenuhan dan kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat di antara perusahaan-perusahaan tersebut pada tahun 1985 pemerintah sempat menutup pintu bagi penanam modal baru baru. Tetapi kemudin pada tahun 1986 pemerintah mermbuka pintu investasi kembali karena dirasakan bahwa jumlah air mineral yang dihasilkan perusahaan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menghadapi persaingan ini, secara filosofis Tirto Utomo mengatakan : “Di dunia ini kita tidak bisa hidup sendirian, competitor kita juga punya hak untuk hidup. Yang penting buat kita, kompetisi ini harus memacu kita untuk menjadi lebih baik dan lebih unggul dari competitors”.

Memang, setelah muncul makin banyak pesaing, pertumbuhan AQUA terlihat semakin pesat. Demikian juga dengan pertumbuhan pasar secara keseluruhan. Tingkat konsumsi terdongkrak dengan cepat karena digarap rame rame.

Dengan mulai bermunculannya pemain baru yang cukup serius, Willy Sidharta, tentu dengan persetujuan dan dukungan Tirto, terus memompa inovasi produk AQUA ke pasar sebagai upaya untuk diferensiasi terhadap para pesaingnya.

Di sisi lain Tirto juga memacu dan memotivasi jajaran penjualan dan distribusi untuk menyerang pasar dengan agresif dengan berbagai kiat yang dianggap jitu.

Sebagai pemimpin pasar tentu saja AQUA memilih strategi bertahan. Perusahaan tidak menciptakan pemimpin pasar melainkan pelanggan yang menciptakannya. Kategori pemimpin pasar yang sebenarnya adalah perusahaan yang menurut persepsi para pelanggan memang dianggap pantas sebagai pemimpin pasar.

Hal itu sesuai dengan anjuran pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout pada pada masa itu yang terkenal melalui bukunya Marketing Warfare. Sesuai isi buku tersebut ada dua prinsip yang dipegang AQUA. Pertama, strategi bertahan terbaik adalah hasrat untuk menyerang diri sendiri Kedua, gerakan-gerakan persaingan yang kuat harus selalu ditahan.

Karena posisi kepemimpinan yang disandangnya maka perusahaan yang bertahan memiliki suatu kekuatan di benak prospeknya. Cara terbaik untuk memperbaiki posisi AQUA adalah dengan menyerang kekuatan itu terus menerus. Dengan perkataan lain, AQUA memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar dengan mengintroduksi produk baru yang sifatnya membuat usang produk yang ada sekarang. AQUA memelopori penggunaan PET ketika semua pesaing masih menggunakan PVC. Kemudian, AQUA memperkenalkan kemasan gelas plastik ukuran 220 ml yang akhirnya menjadi standar dalam industri AMDK.

Para pesaing akan terus menerus berjuang untuk mengejar. Tetapi, suatu target yang terus menerus bergerak lebih sulit ditembak dibandingkan target yang diam. Karena itu Tirto dan Willy selalu membawa AQUA bukan hanya berjalan, tetapi berlari berpacu dengan waktu dan pesaing, melalui berbagai inovasi maupun strategi pemasaran maupun distribusi. Kiat AQUA menggandeng para distributornya di berbagai daerah untuk membangun pabrik pabrik AQUA telah berhasil menciptakan sinergi yang positif yang pada akhirnya meningkatkan volume penjualan secara signifikan.

Kebanyakan perusahaan hanya memiliki satu kesempatan untuk menang tetapi pemimpin pasar memiliki dua kesempatan. Jika pemimpin pasar gagal memanfaatkan kesempatan untuk menyerang dirinya sendiri, perusahaan seringkali dapat melakukan pemulihan dengan cara menjiplak gerakan pesaing.

Bahkan, pada 1987 AQUA memutuskan untuk membeli VIT yang semula adalah salah satu pesaing utamanya sehingga AQUA membukukan penjualan Rp 30 miliar pada tahun tersebut atau naik sekitar 50 persen dibandingkan tahun 1986.

Tujuan utama dari akuisisi VIT pada waktu itu (dan sampai sekarang) adalah untuk memayungi AQUA sebagai produk premium terhadap serangan para pesaingnya, atau dalam istilah marketingnya VIT di posisikan sebagai “fighting brand” atau “the umbrella brand” untuk melindungi AQUA. Sebagai produk premium AQUA pada saat itu (akhir decade tahun 80an) mematok harga sekitar 30% lebih mahal dari pesaingnya. VIT dipatok pada tingkat sekitar 10% atau sama dengan harga pesaingnya. Sehingga siapapun yang akan menyerang AQUA dari segi harga, akan berhadapan dengan VIT terlebih dahulu.

Namun, strategi ini bukan tidak ada resikonya. Kalau kita tidak bisa mengelola dengan sinergis kedua posisi tersebut, ada kemungkinan akan menghancurkan diri sendiri.

Bila kita tidak mampu memberikan differensiasi atau pembedaan dari kedua produk tersebut, setidaknya pembedaan di benak konsumen, maka ada kemungkinan akan terjadi kanibalisasi dimana produk fighting brand mengambil posisi dari merek utama atau main brand. Kalau ini terjadi, tentu akan mempengaruhi tingkat perolehan laba perusahaan dan juga akan memperlemah posisi cash flow perusahaan. Karena penjualan yang high profit berpindah menjadi penjualan dengan low profit.

Karena itu sejak awal VIT dibiarkan dibawah naungan PT Varia Industri Tirta, yang secara nyata membedakan dari AQUA yang bernaung dibawah kelompok PT AQUA Golden Mississippi. Persepsi konsumen dan masyarakat tetap bertahan demikian meskipun pada tahun 1994 ketika Tirto Utomo wafat, posisi PT AQUA Golden Mississippi digantikan oleh PT Tirta Investama sebagai holding company atau induk perusahaan.

Memang dalam sejarah AQUA selama ini, beberapa kali di coba untuk menaikkan status VIT dari sekedar “fighting brand” menjadi “the second brand”. Bahkan Tirto Utomo sendiri pernah mencoba, tetapi segera banting setir kembali setelah melihat VIT berbalik menyerang AQUA.

Dengan masuknya VIT ke bawah naungan PT Tirta Investama, harus lebih hati hati, karena konsumen makin terbuka mengetahui bahwa AQUA dan VIT pada dasarnya dari perusahaan yang sama.

Menurut Willy, sebaiknya VIT tetap pada posisi sebagai fighting brand dengan manajemen sinergis yang kuat, antara lain dengan mengontrol pangsa internal antara VIT dan AQUA. Apabila pangsa internal VIT terus meningkat dan sebaliknya pangsa AQUA terus menurun, merupakan lampu kuning untuk mengkaji kembali kebijakan positioning antara kedua merek tersebut.
juga, adalah lebih baik berinvestasi untuk mempertahankan AQUA sebagai premium brand dari pada membabi buta mengejar pangsa pasar atau mengindari persaingan.

Salah satu contoh kesalahan dalam hal ini adalah kasus AdeS yang meluncurkan beberapa merek sekaligus, antara lain VICA, DESCA dan DESTA

Dari ketiga merek tersebut, kelihatannya VICA bergeser dari sekedar “fighting brand” menjadi “the second brand” sehingga lambat laun menggantikan tempat ADES, terutama di segmen 5 gallon di pelanggan komersial atau perkantoran. Ketika ditanya secara random beberapa konsumen mengatakan :”Produknya kan sama, dari perusahaan yang sama, buat apa beli yang mahal?”

Kasus demikian dapat terjadi pada semua jenis komoditi dan pada semua merek kalau tidak berhati hati menangani merek.

Karena itu pula, dalam kondisi persaingan yang ketat, perusahaan yang hanya mengandalkan besarnya volume penjualan melalui multi branding yang tidak dikelola dengan baik; akan berakhir pada kebangkrutan.

Ketika diwawancara Editor edisi 18 / Th. I / 26 Desember 1987, Tirto Utomo mengakui transaksi tersebut sudah berlangsung sejak akhir Juli 1986. “Tidak ada alasan yang mendesak. Saya dan Johny Widjaja (salah seorang pemegang saham terbesat VIT) teman baik. Yah, mungkin Johny menganggap bisnis ini terlalu kecil buat diurus, lalu dia jual kepada saya,” tutur Tirto Utomo, sambil tersenyum.

Pengusaha AMDK asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang bertubuh agak gemuk dan berdahi lebar itu, keberatan menyebut jumlah rupiah yang dikeluarkannya untuk membeli seluruh saham VIT itu. Tetapi seorang staf Johny Widjaja di Grup Tiga Raksa mengungkapkan bahwa nilai total asset VIT sampai pertengahan tahun 1986 bernilai sekitar Rp 3 miliar.

Bila AQUA menguasai pangsa pasar sekitar 60-65 % maka VIT merebut sekitar 20-30% pangsa pasar. Tahun 1986 penjualan AQUA mencapai 75 juta liter atau meningkat dari 56 juta liter pada tahun 1985. Volume penjualan sebesar itu tersebar dalam 11 jenis botol kemasan, baik beling maupun plastik.

VIT, seperti diketahui, didirikan keluarga Johny Widjaja, pemilik kelompok usaha TIRA atau PT Tiga Raksa (Johny, istrinya, adiknya Robert Widjaja serta tiga pemegang saham lainnya) pada 1984. Waktu itu Grup Tira kelihatan hendak menggulung sukses AQUA milik Tirto Utomo dalam bisnis air mineral. Untuk memperkuat citra VIT, mereka mengikat kerjasama teknis dengan perusahaan AMDK Vittel dari Perancis. Kerja sama ini kemudian dilanjutkan dan makin ditingkatkan sesudah VIT di akuisisi oleh Tirto Utomo. Willy bahkan hampir setiap tahun berkunjung ke Vittel untuk mengadakan technical meeting dengan para pakar di Vittel. Demikian juga dari pihak Vittel mengirimkan para technical expertnya ke Indonesia.

Tirto bahkan mengundang pemilik dan pimpinan Vittel pada waktu itu, Mr. Guy de la Motte ke Jakarta, di mana kedua pihak menanda tangani kesepakatan peningkatan kerja sama untuk kepentingan kedua pihak,

Sampai dengan tahun 1999 para pemain besar AMDK di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut :


Perusahaan Merek Kapasitas produksi
setahun
(juta liter)

PT Aqua Golden Mississippi AQUA 1,754
PT Ades Alfindo AdeS 600
PT Tang Mas Tang, Mon Air 33,4
PT Tirta Mas Megah Total 28,8
PT Tirta Bahagia Club, Viand, JJ 18
PT Waterindex Tirta Lestari Grand 17,5
PT Santa Rosa Indonesia Oasis, Avion 4,2
PT Lima Gajah Tirta Persada Qualiva, Alvaqua 0,9

Sumber : The Jakarta Post, 22 Maret 2001 dari Data Deperindag tahun 1999

Kiat Sukses Willy Membangun Merek AQUA

Apakah yang konsumen cari ketika datang ke toko atau swalayan: AQUA, Pepsodent, Laurier, Promag, Baygon dan merek lainnya atau kategori produknya seperti air minum dalam kemasan (AMDK), pasta gigi, pembalut wanita, obat mag, atau obat nyamuk? Dari berbagai survei, ternyata konsumen cenderung membeli merek, bukan produk.

Merek menjadi pembeda suatu produk dari produk lainnya di belantara komoditas, sekaligus menegaskan persepsi kualitas (perceived quality)-nya. Tak heranlah, Stephen King, CEO WPP Group yang bermarkas di London, mengatakan produk adalah barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. Sesuatu ini bukan sekadar barang, melainkan juga persepsi akan kualitas dan gengsi yang diraih.

Sebuah perusahaan sepatu wanita di Bandung, Jawa Barat, misalnya, memasok merek premium Escada. Setelah ditempeli label, sepatu buatan Bandung ini dijual Escada di New York dengan harga di atas US$ 800. Sementara sepatu dengan desain dan bahan yang sama persis, dijual di Bandung seharga Rp 80 ribu. Bedanya, yang di Bandung menggunakan merek lokal.

Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. ”Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” ujar Stephen King. Usia merek yang baik, tentunya pada akhirnya jauh melampaui usia pendiri perusahaan.

Pentingnya peran merek untuk kelanggengan usaha inilah yang secara rutin dilakukan Majalah SWA dan MARS dengan menyelenggarakan survei Indonesian Best Brand dan penganugerahan Indonesian Best Brand Award (IBBA) secara berkelanjutan. IBBA 2006 merupakan yang kelima kalinya di selenggarakan. Sementara survei merek paling diingat (top of mind atau brand awareness) sudah dilakukan sejak 1994 (bersama MARS dan MarkPlus).

Sejak tahun 2002, MARS mencoba mengembangkan konsep Equity menjadi Merek Terbaik (Best Brand) yang dapat diterjemahkan sebagai tingkat kemampuan sebuah merek dalam memenuhi kebutuhan dan harapan penggunanya. Berdasarkan konsep ini. Meski kebutuhan individu ada batasnya, dalam pemenuhan terhadap apa yang diharapkan berbeda-beda pada setiap individu lainnya, maka nilai indeks yang dimiliki oleh suatu merek tidak memiliki batas atas dan bersifat relative terhadap nilai merek lainnya.

Salah satu tujuan utama penyelenggaraan Indonesian Best Brand Award tersebut adalah menghasilkan nilai indeks yang dapat dijadikan sebagai barometer kinerja merek dalam horizon waktu tahunan. Sementara itu, besarnya kontribusi masing-masing variabel indikator terhadap pembentukan indeks Best Brand diharapkan dapat menjadi masukan sekaligus pemicu motivasi bagi para pengelola dan divisi pemasaran masing-masing merek untuk mempertahankan serta meningkatkan kinerjanya guna memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan pada waktu mendatang dalam situasi persaingan yang semakin meningkat.

Survey tentang Best Brand 2006 melibatkan tiga kategori responden, yakni : responden personal, responden rumah tangga yang tersebar di lima kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang) serta responden perusahaan yang ada di Jakarta.

Temuan The Indonesian Best Brand Survey 2006 menunjukkan bahwa AQUA tampil sangat dominan dan terus mempertahankan posisinya sebagai merek terbaik dalam kategori air minum dalam kemasan (AMDK). Dan tentu saja orang di balik layar yang membangun merek AQUA hingga sedemikian kuat tidak lain adalah Willy Sidharta, Presiden Direktur AGM yang menjadi pemegang tongkat estafet Tirto Utomo setelah yang bersangkutan meninggal tahun 1994.

Indeks rata-rata Best Brand 2006 adalah 16,5. Adapun nilai Brand Value 2006 mencapai 460,7 yang merupakan akumulasi dari nilai TOM Ad ( 92,9), TOM Brand (92,0), Brand Share (92,7), Satisfaction (99,3) dan Gain Index (1,1).

Angka tersebut meningkat dibandingkan Brand Value 2005 sebesar 439. Tetapi jauh menurun dibandingkan hasil Brand Value 2004 yang mencapai 609,7. (Mengapa? Ini yang harus dianalisis Pak Willy Sidharta sendiri).

Sementara Brand Value para pesaing terdekatnya pada 2006 sungguh sangat kecil dibandingkan yang diraih AQUA yakni Club (9,1), VIT (7,2), Ades (5,6) dan Total (2,4).

Berbeda dari survei merek yang banyak dilakukan lembaga lain, survei IBBA jauh lebih lengkap. Kami tak sekadar mengukur brand awareness atau kepuasan pelanggan, melainkan masuk lebih dalam lagi dengan mengukur nilai suatu merek dengan memaparkan elemen-elemen yang menentukan nilai itu. Dengan demikian melalui hasil survei ini kita dapat mengetahui posisi, perubahan, dan persaingan setiap merek dengan merek lainnya pada setiap elemen yang diukur.

Ada 6 variabel yang kami jadikan tolok ukur: popularitas merek (brand awareness), popularitas iklan (ad awareness), persepsi kualitas merek (perceived quality), tingkat kepuasan dan kesetiaan pelanggan (satisfaction & loyalty index), pangsa pasar (market share), serta potensi merek untuk mengakuisisi konsumen di masa depan (gain index). Dari pembobotan hasil menyeluruh ke-6 variabel ini, kita dapatkan nilai merek (brand value) yang sesungguhnya.

Melalui survei tersebut akan terlihat merek yang berpotensi maupun yang tidak, sehingga pemilik merek dapat mengevaluasi mereknya dan merancang langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi mereknya saat ini. Selain itu, bisa diketahui apakah suatu perusahaan mendominasi suatu kategori industri atau hanya pada produk tertentu. Ambil contoh, meski memiliki gaung nama yang begitu besar, ternyata porsi Indofood di kategori makanan dan minuman tidak terlalu besar. Indofood hanyalah menjadi raja mi instan dan bumbu instan. Di kategori makanan dan minuman Indofood masih kalah dibanding ABC ataupun Grup Sosro. Dari temuan ini kita dapat memetakan daya dukung industri terhadap merek-merek besar.

Dari hasil survei tersebut juga bisa diketahui sektor atau kategori produk mana saja yang masih berprospek untuk dipenetrasi. Caranya, telisik saja jumlah pemain dan top of mind (TOM)-nya. Jika suatu sektor bisnis rata-rata nilai TOM-nya rendah, bisa dikatakan di industri itu para pemain belum terlalu intensif mengedukasi pasar. Karena itu masih ada kesempatan bagi pemain baru yang ingin intensif mengarap pasar.

Pertanyaan yang acap diajukan adalah bagaimana kita harus membangun merek? Bukankah pembiayaan investasi merek agar menancap di benak konsumen di masa over communicated ini iklan ada puluhan teve, surat kabar, majalah, dan berbagai media luar ruang dan media alternatif lainnya iklan sangat mahal? Jawabnya: bisa ya dan bisa tidak.

Yang pasti, keseriusan dan jerih payah membangun merek selalu membuahkan hasil. Lihat saja bagaimana pada Mei 2005, PT Philip Morris Indonesia mengakuisisi PT HM Sampoerna Tbk. Perusahaan yang antara lain memproduksi rokok merek Djie Sam Soe dan A Mild dinilai perusahaan asal negeri Paman Sam itu sebesar lima kali nilai aset yang tercantum dalam pembukuannya. Sebelumnya, The Coca-Cola Company juga membeli hak atas merek AMDK AdeS, dan PT Unilever Indonesia Tbk. membeli merek Kecap Bango. Sekali lagi: membeli merek, bukan asetnya. Keduanya dengan harga yang sangat menggiurkan. Ini menandaskan tingginya nilai merek yang kuat. Namun, kita juga harus senantiasa ingat: perjalanan sebuah merek adalah perjalanan tiada akhir. Jangan cepat puas dan berhenti di tempat, karena lambat laun merek yang tak dikelola dengan baik dapat mengalami kehancuran di tengah persaingan yang super ketat. ***











No comments: