Wednesday, December 6, 2006

MENGENAL SOSOK PENDIRI AQUA

Nama Tirto Utomo seolah sudah memberikan isyarat bahwa garis hidupnya ada di bisnis air minum. Orangnya sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas berpikir. Ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan latihan manajemen.

Sosok pendiri AQUA, Tirto Utomo, dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1930. Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto Utomo harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer dari kota kelahirannya itu. Perjalanan itu ditempuhnya dengan bersepeda. Kehidupannya tergolong lumayan karena orangtuanya pengusaha susu sapi dan pedagang ternak. Lulus SMP Tirto Utomo melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di Semarang kemudian dilanjutkan ke HBS St. Albertus di Malang. Teman sekolahnya antara lain mantan menteri perdagangan Rahmat Saleh dan mantan gubernur NTT Ben MBoi.

Masa remaja Tirto Utomo dihabiskan di Malang, sampai bertemu dengan istrinya Lisa atau Kienke (Kwee Gwat Kien) yang sekolah di sekolah susteran. Seperti lazimnya sekolah Katholik pada waktu itu maka sekolah untuk murid laki-laki dan murid perempuan dipisah. Mereka berdua sempat bertemu hanya di lapangan olahraga tetapi pacarannya sangat awet.

Sebelum masuk UI, selama dua tahun Tirto kuliah di Universitas Gajah Mada yang ada di Surabaya yang kondisi kuliah di fakultas hukumnya tidak menentu. Selama dalam kondisi setengah menganggur itu ia mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Apalagi dosennya banyak yang menjadi hakim.

Karena kuliah tidak menentu akhirnya Tirto Utomo memutuskan untuk pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna (1955-1959).Sebagai wartawan Tirto utomo mengunakan nama pena A Kwa.

Pada tahun 1954 selepas SMA di Malang , Ibu Lisa atau Kienke masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan sempat indekost di Jalan Agus Salim 100 Jakarta. Sambil kuliah Ibu Lisa bekerja di British American Tobacco (BAT Indonesia). Pada Maret 1955 Ibu Lisa gagal dalam ujian kenaikan tingkat dan kemudian memutuskan berhenti kuliah.

Sebagai sambilan kemudian Ibu Lisa mengajar bahasa Inggris di Batu Ceper, menjadi guru di SD Regina Pacis disamping menerima jasa penerjemahan dan pengetikan. Di saat seperti itulah ia dilamar Tirto Utomo dan menikah pada 21 Desember 1957 di Malang. Dua hari kemudian sebuah pesta sederhana juga diselenggarakan di Wonosobo, tempat kelahiran Tirto Utomo. Pasangan pengantin baru itupun kemudian menyewa sebuah garasi di Jalan Surabaya 24, Menteng, Jakarta.

Pada akhir tahun 1959, Tirto Utomo terkena musibah. Ia diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan keluarga menjadi tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah Tirto Utomo memiliki kemauan yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Sementara, Ibu Lisa berperan sebagai pencari nafkah sehari-hari. Di samping mengajar bahasa Inggris Ibu Lisa membuka usaha catering. Jika malam tiba di sela-sela belajar untuk ujian, Tirto Utomo membantu istrinya memasak di dapur. Hasil belajar kerasnya menuai hasil. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum.

Setelah lulus, Tirto Utomo melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina. Setelah diterima, ia ditempatkan di Pangkalan Brandan, yang terletak sekitar 90 kilometer dari Medan. Kondisi perekonomian masih memprihatinkan karena perusahaan masih belum mengalami masa keemasan. Bahkan, untuk keperluan mandi masih menggunakan air sungai.

Berkat ketekunannya, Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak. Tirto praktis mengikuti sebagian besar negosiasi harga minyak dengan kontraktor asing. Bahkan pada 1970-an Tirto Utomo mulai mengikuti negosiasi penjualan LNG (Liquid Natural Gas) , baik ke Jepang maupun ke AS.

Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal & Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri. Dalam setahun hampir sembilan bulan di luar negeri. Kegigihan Tirto Utomo dalam melakukan negosiasi penjualan LNG ke AS dimuat dalam buku Hands Across The Sea sekalipun akhirnya upayanya gagal karena terganjal kebijakan pemerintah AS.

Pada usia 48 tahun, tujuh tahun sebelum masa pensiun resmi, Tirto Utomo memilih pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni AQUA, PT Baja Putih dan restoran Oasis.

AQUA didirikan dengan modal yang dikumpulkan bersama adik iparnya Slamet Utomo sebesar Rp 150 juta. Dengan dana yang terbatas tersebut Tirto mendirikan pabrik di Bekasi yang harga tanahnya pada waktu itu masih sangat murah. Perusahaan didirikan tahun 1973 dengan nama PT Golden Mississippi dengan merek produksi AQUA. Karyawan mula-mula berjumlah 38 orang. Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi di Bekasi

Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama AQUA diluncurkan pada 1 Oktober 1974. Harganya ditetapkan Rp 75 untuk kemasan dalam botol beling ukuran 950 ml.

Sebenarnya Tirto sudah menyiapkan nama dagang Puritas, untuk memberikan kesan air yang murni. Tetapi desainer Singapura yang merancang logonya mengusulkan nama AQUA. Kata Eulindra Lim, desainer itu, AQUA mudah diucapkan dan mudah diingat selain bermakna “air”.

Barangkali Tirto tersenyum simpul saat itu, AQUA sebenarnya bukan nama asing baginya. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini sering memakai nama samaran “A Kwa” yang bunyinya mirip dengan “Aqua” semasa masih menjadi pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna di akhir tahun 1950-an.

Menurut pengakuan Tirto Utomo pada suatu saat, ia memilih memakai nama samaran “A Kwa” alasannya sederhana saja. “Nama asli saya Kwa Sien Biauw. Kalau ditambah A di depannya maka menjadi Akwa atau Aqua.”

Nama Tirto Utomo mulai dipakainya pertengahan tahun 1960-an. Ia sendiri tidak menyangka nama yang dalam bahasa Jawa berarti “air yang utama” itu kelak mengantarnya menjadi pebisnis air yang utama

Hasil produknya berupa air bening yang mereka kemas dalam botol dan inilah yang dijual khusus kepada orang asing.

Selama masih bekerja di Pertamina maka yang mengelola sehari-hari adalah Slamet Utomo (sampai tahun 1975) yang dibantu Willy Sidharta sebagai profesional. Tirto dan stafnya berjuang memperkenalkan dan memasarkan produk mereka . Baru setelah selama sekitar lima tahun berjuang, pasar mulai bisa ditembus. “Dulu bukan main sulitnya. Dikasih saja orang tidak mau. Untuk apa minum air mentah itulah celaan yang tak jarang kami terima,” tutur Willy Sidharta.

Memang bisa dipahami pada saat itu minuman ringan berkarbonasi seperti Coca Cola, Sprite, 7 Up dan Green Spot sedang naik daun menggeser minuman limun buatan lokal. Maka gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, memang tak salah bila dianggap sebagai gagasan gila.

Ketika produk mulai diedarkan ternyata bidikan pasar Tirto Utomo tak sepenuhnya jitu. Bukan cuma orang Indonesia yang ogah minum AQUA orang asing pun ragu-ragu. Harga Rp 75 yang apabila dikurs hanya beberapa bernilai sekitar 20 sen dollar itu dianggap kelewat murah. Harga rendah menimbulkan kesan kualitas (perceive quality) yang rendah pula.

Hingga 1978 penjualan AQUA tersendat-sendat. Tidak heran bila Tito Utomo sendiri mengakui hampir menutup perusahaannya. Maklum sudah sekitar lima tahun berusaha tetapi titik impas belum juga dapat diraih. Ia tidak tahan harus menombok terus-menerus.

Tetapi selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Tirto Utomo bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan harga jual hampir tiga kali lipat. Pada waktu itu Tirto sudah menyiapkan antisipasi sekiranya upaya itu bakal menyebabkan penurunan omset. Namun, pasar bicara lain. Omset bukannya menurun malahan terdongkrak naik. Agaknya orang menilai harga tinggi sama dengan mutu tinggi. Dan AQUA memang diproduksi dengan standar kualitas yang baik. AQUA pun mulai melayani segmen yang tertarik untuk berlangganan.

Salah satu pelanggannya adalah kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Dari para insinyur Korea Selatan itu, kebiasaan minum air mineral pun menular kepada rekan sejawat pribumi mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemasan diterima masyarakat.

Sementara itu, Tirto Utomo kemudian keluar dari Pertamina tahun 1978 agar bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk AQUA.

Pada 1981 ada pemberitahuan dari Pemda Jawa Barat bahwa intrusi air laut merambah wilayah pabrik AQUA di Bekasi. Maka dijajakilah konsep Eropa khususnya Perancis yang menggunakan sumber mata air yang mengalir sendiri. AQUA tertarik dengan konsep itu dan meninggalkan cara lama yang mengambil air dari sumber sumur bor. Maka dipilihlah lokasi mata air di Ciawi. Dari sana sekitar 30 buah armada truk tangki setiap hari membawa berton-ton air ke pabrik di Bekasi. Inilah awal AQUA menggunakan positioning air sumber pegunungan yang membuat namanya makin berkibar.

Satu hal yang menjadi ciri khas Tirto Utomo adalah pipa tembakau yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Bagi Tirto pipa tersebut bukan sekadar menghangatkan saja namun sudah merupakan suatu kebutuhan.

Penampilannya sehari-hari sangat sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan latihan manajemen.

Namun, jangan sekali-kali merlontarkan gagasan main-main kepadanya. Karena reputasinya Tirto Utomo dianggap sebagai salah satu bos dengan segudang ide.

Bagi Willy Sidharta, Tirto Utomo merupakan sosok yang istimewa. Willy menganggap Tirto sebagai guru terbaik dalam perjalanan hidupnya. Hal ini tentu tidak mengherankan, karena boleh dibilang selama 20 tahun Willy berguru pada Tirto. Karena itu, banyak gaya manajemen Tirto yang diterapkan oleh Willy dalam mengelola AQUA bersama dengan anggota manajemen lainnya.

Sebaliknya bagi Tirto, Willy juga merupakan salah satu ujung tombaknya di AQUA, terutama dalam inovasi, pengembangan dan operasional, khususnya di bidang manufacturing. Dia banyak memberi Willy kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi.

Misalnya saja dalam soal kemasan. Pada waktu itu, Tirto Utomo tidak menduga bahwa ternyata biaya pengemasan dapat mencapai 65 % dari biaya produksi. Melihat porsi yang tinggi ini, Tirto Utomo kemudian menyetujui ide Willy untuk menggabungkan pabrik botol dengan bisnis air mineralnya, yang diwujudkannya dengan mendirikan PT Tirta Graha Parama, salah satu anak perusahaan dalam pendistribusian produk AQUA.

Salah satu kata-kata Tirto yang tidak pernah dilupakan oleh Willy adalah ketika Willy mengalami kegagalan : “Anggap saja kegagalan itu sebagai uang sekolah kita semua. Kalau kita takut gagal, kita tidak akan pernah bisa sukses!”Hal inilah yang mendorong Willy dan tImnya untuk terus berinovasi.

Sejak dulu Tirto Utomo dikenal sebagai seorang yang gila kerja (workaholic). Kebiasaan itu sudah dilakukannya sejak kecil. Ayahnya seorang peternak, selalu menerapkan prinsip kerja kepada lima anaknya. Tirto sebagai anak ketiga, setiap hari harus bangun pada pukul 04.30 pagi. Jam 06.00 sudah harus memerah susu pada saat mobil pengangkut susu mulai berdatangan. Setelah itu ia berkemas untuk berangkat menuju sekolah.

Salah satu kata-kata Tirto Utomo yang terkenal adalah sebagai berikut :

“Banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen.”

Usahanya terus berkembang sehingga produksi AQUA merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sayang, Tirto Utomo wafat pada 1994 sehingga tidak sempat menyaksikan perusahaannya menjadi produsen air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia dengan volume penjualan AQUA sebesar 2,35 miliar liter pada 2001. Prestasi itu tetap dipertahankan sampai sekarang. ***

1 comment:

ody ahmad junaidy said...

salut, orang chinese mmg jempol, jatuh bangun, zaman dulu dimasa sulit masih berjuang sekolah, beda dg pribumi zaman sekarang masi byk y gak mau sekolah. salam